aku tak melatam tabiat ini selagi keruh belum merengek lepuh
pada santan dosa-dosa
kupandangi kuning senja kian tengah cemburu
pada semua mata liur kelakuanku itu yang sudah meraung
hari-hari
dan menyuramkan matahari
sebelum baranya tak lagi sempat terbenam di ufuk barat
dan memintal timur merupa istana
kucoba menyampak mimpi dan puja-puji
tentang keagungan ilahi
kalaupun tanpa senja
dengan dingklik sesal tiada buritan hadang
bakteri hati kusikat dengan karang yang landai
dan tiada ratapan bisa kuseduh
tuk kuartikan pertaubatan atas pengingkaran
dari bibir ingatan
terabadi tanpa ganti
kalaupun tanpa senja
dengan tumpuk rindu yang bergelintar
Tuhan tetap kubawa lari ke sini, ke sisi
ke jalan yang sudah lama kutebang
gersang
di pematang
hura-hura
dengan dipacu engah waktu
kubadaikan mutiara di dada ibu bak jembatan
ia telah membawaku pada dunia
ku pun mengerti harta, kuasa, dan uang atas fana
ia mencabik mulutku dengan doa
hingga kuredam bulan dalam gugup tangisan
: jadi arti dalam harva cinta
: jadi arti dalam gelombang rindu
O, aku tak cukup memanggil seribu kali
tuk menguras aquarium cinta yang ia hidangkan
pada ngeri suatu tanda
setelah bayang itu mengelupas di awal senja
kukencangkan rinduku padamu,
Tuhan, ibu …
Yogyakarta, 15 Maret 2009