Pages

Kamis, 13 Mei 2010

Taubat Rindu, pada Tuhan dan Ibu di Tampuk Senja

aku tak melatam tabiat ini selagi keruh belum merengek lepuh
pada santan dosa-dosa
kupandangi kuning senja kian tengah cemburu
pada semua mata liur kelakuanku itu yang sudah meraung
hari-hari
dan menyuramkan matahari

sebelum baranya tak lagi sempat terbenam di ufuk barat
dan memintal timur merupa istana
kucoba menyampak mimpi dan puja-puji
tentang keagungan ilahi

kalaupun tanpa senja
dengan dingklik sesal tiada buritan hadang
bakteri hati kusikat dengan karang yang landai
dan tiada ratapan bisa kuseduh
tuk kuartikan pertaubatan atas pengingkaran
dari bibir ingatan
terabadi tanpa ganti

kalaupun tanpa senja
dengan tumpuk rindu yang bergelintar
Tuhan tetap kubawa lari ke sini, ke sisi
ke jalan yang sudah lama kutebang
gersang
di pematang
hura-hura

dengan dipacu engah waktu
kubadaikan mutiara di dada ibu bak jembatan
ia telah membawaku pada dunia
ku pun mengerti harta, kuasa, dan uang atas fana
ia mencabik mulutku dengan doa
hingga kuredam bulan dalam gugup tangisan
: jadi arti dalam harva cinta
: jadi arti dalam gelombang rindu

O, aku tak cukup memanggil seribu kali
tuk menguras aquarium cinta yang ia hidangkan
pada ngeri suatu tanda
setelah bayang itu mengelupas di awal senja
kukencangkan rinduku padamu,
Tuhan, ibu …


Yogyakarta, 15 Maret 2009

Kriminalitas yang Tak Lagi Tabu (Penjelajahan Gagasan dan “Nafs” Lingkungan)

“Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan, Negeri rubuh, Kasau-jeriau
dan pagu dapur berantarakan, Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, Angin lewat di atas tungku penjerangan,
Di halaman depan menanti
keranda ke kuburan”
(Penggalan puisi Miskin Desa, Miskin Kota, karya Taufiq Ismail)

Muqaddimah

Fenomena kriminalitas kian hari kian merebak di berbagai daerah. Kriminalitas ini pula yang memunculkan kesengsaraan dan rasa gelisah di kalangan masyarakat. Seperti petikan puisi Taufiq Ismail di atas, memang, tahun ini kita sedang ditebas kesengsaran. Faktanya, ketika kita menyempatkan diri untuk menonton televisi, seperti tidak ada jeda untuk terus menayangkan berita kekerasan dan tindak kriminalitas. Andai saja Ben Anderson melihat fenomena ini, mungkin ia akan berkata: imagined criminality, selain imagined community.

Rabu, 12 Mei 2010

The Deprivation Society: Dari “Tumpulnya Supremasi Hukum” Hingga “Kecemburuan Sosial” (Tinjauan Kritis terhadap Fenomena Makelar Kasus atau "Markus")

Oleh: Nuzulul Khair*



Pengantar
الامور بمقاصدها
(Segala perkara tergantung maksudnya)

Munculnya suatu perkara atau kasus tidak pernah lahir dari ruang yang kosong. Ia muncul ke permukaan sebagai kenyataan sosial hasil benturan wajar dengan kenyataan sosial lain yang saling mempengaruhi. Oleh sebabnya, persinggungan apa yang terjadi dengan apa yang melingkupinya merupakan suatu keniscayaan yang perlu dikaji. Namun dalam melihat permasalahan sosial, tidak cukup hanya dilihat dari sudut pandang perkara tetapi juga dari konteks para oknumnya. Penggalan singkat kaidah ushul fiqih di atas, paling tidak sedikit mengamini bahwa di dalam membaca segala tindakan seseorang mesti diletakkan pada segala konteksnya.

Anak Kandang

Bacalah, dengan cinta dan ketulusan
seperti aku dan empat kawanku mengeja waktu
membiarkan lipatan kertas luntur
bersama rintik hujan;
di wajah purnama

Semula, tak ada apa pun di ruang yang remang
aku mengundang kepulan kata-kata dari mulut mereka
dan rerumputan menafsirkannya rindu
pada kehausan akan ilmu dan rasa riang


Kami membangun kembali harapan yang tidur pulas
sejak saat itu
benih-benih kebosanan hanya tinggal saja
di sajak-sajak yang mengelupas

Bacalah, dengan cinta dan ketulusan
seperti aku dan empat kawanku merangkai kata
hingga detik terakhir bisa mengeja


Yogyakarta, 15 Maret-09