Pages

Selasa, 12 Mei 2015

Mistifikasi Irwan Sumenep


Tak ada yang lebih menghebohkan di tahun 2015 ini di Madura, yang melebihi gegap gempita masyarakat terhadap Irwan. Ya, pemuda dengan nama lengkap Irwan Krisdiyanto ini tengah menjadi idola baru bagi masyarakat Madura khususnya warga Sumenep. Namanya mencuat setelah menembus tiga besar kontes Dangdut Academy (DA) 2 yang diselenggarakan oleh Indosiar. Menariknya, kehadiran sosok Irwan disambut warga dengan sangat antusias. Hal ini terlihat dari hadirnya ribuan massa yang memadati kota Sumenep saat Irwan berkunjung saat jeda libur kontes.

Jika ditelisik, sebenarnya Irwan bukanlah orang Madura pertama yang karirnya cemerlang di belantara musik dangdut tanah air. Sekadar menyebut contoh, sebelumnya ada nama-nama tenar macam Imam S. Arifin, Jhonny Iskandar, dan Yus Yunus. Mereka merupakan trio yang sempat merasakan manisnya popularitas sebagai artis dangdut. Kini, layak dikatakan sebagai panggungnya Irwan. Namanya sedang meroket, yang bisa jadi lebih bersinar dibandingkan nama Arya Wiraraja, tokoh Madura dan raja pertama Kabupaten Sumenep.

Keberadaan Irwan merupakan fenomena yang mudah kita temui di pelbagai daerah lain di Indonesia. Fakta yang paling dekat, teman-teman kontestan Dangdut Academy lain juga mendapatkan sambutan begitu heboh. Yang membuat fenomena ini mencuat karena tim kreatif DA Indosiar berhasil menyuguhkan tontonan yang menyentuh bahkan masuk ke relung emosi pemirsanya. Seperti memberitakan sisi personal masing-masing kontestan, dengan dibumbui serangkaian “drama”. Ingat, media televisi bisa menyuguhkan apa pun demi terdongkraknya rating.

Fenomena Irwan yang bagi sebagian kalangan dianggap terlalu berlebihan sejatinya bukanlah fenomena yang aneh di era teknologi informasi yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Selebitras dan sejenisnya sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat selama masih bisa mengakses informasi. Nilai-nilai beken yang melekat pada  selebritas dan dipandang saban hari tak jarang diinternalisasi sehingga tak jarang pula menghadirkan sebuah fantasi. Maka, hal yang lazim jika di pedesaan banyak ditemukan orang yang bergaya dan bertingkah laiknya artis ibu kota.

Kemudian, munculah bayangan-bayangan yang terlintas di benak mereka bahwa menjadi artis merupakan cara yang efektif untuk menyulap nasib agar lebih baik. Terlebih lagi, apabila terdapat kekecewaan atau ketidakberuntungan masyarakat atau “apalah” namanya yang dirasakan secara kolektif. Hal ini bisa ditemui dalam realitas politik di tingkat lokal. Kehadiran sosok idola menjadi semacam obat mujarab atas penyakit-penyakit yang dirasakan masyarakat. Baik itu deprivasi yang menyangkut masalah kesehatan, pendidikan, infrastruktur, lapangan kerja, dan semacamnya.

Artinya, pengkultusan terhadap sosok tertentu bisa terjadi ketika orang banyak berhadapan dengan realitas hidup yang tak sesuai dengan harapan, atau tidak berjalan pada treknya. Di sisi lain, mereka merindukan sosok yang bisa mewakili identitas kulturalnya. Popularitas seseorang juga menjadi popularitas dirinya. Yang berlaku kemudian “aku adalah dia” dan “dia adalah aku”. Jika sosok yang diidolakan oleh “aku” dielu-elukan, maka “aku” turut merasa bangga dan senang, karena “aku dan dia” merupakan dua entitas yang tak terpisahkan.

Akhiran, kata peribahasa Madura ajem sapatarangan tak pade bulunah. Terjemahan bebas dari peribahasa ini adalah bahwa setiap orang memiliki bakatnya masing-masing. Irwan sedang terbang tinggi dan akan juga tenggelam di kemudian hari. Sosoknya akan tergantikan oleh “sesuatu” yang lain. Oleh sebabnya, tak bijak apabila membaca Irwan sebagai realitas tunggal dan dijadikan satu-satunya referensi. Tanpa maksud menegasikan, banyak pula teladan-teladan lain yang sangat layak dijadikan referensi seperti Mahfud MD sebagai akademisi-politisi atau D. Zawawi Imron dengan segudang puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar