Tak ada yang lebih menghebohkan di tahun 2015 ini
di Madura, yang melebihi gegap gempita masyarakat terhadap Irwan. Ya, pemuda
dengan nama lengkap Irwan Krisdiyanto ini tengah menjadi idola baru bagi
masyarakat Madura khususnya warga Sumenep. Namanya mencuat setelah menembus
tiga besar kontes Dangdut Academy (DA) 2 yang diselenggarakan oleh Indosiar. Menariknya,
kehadiran sosok Irwan disambut warga dengan sangat antusias. Hal ini terlihat
dari hadirnya ribuan massa yang memadati kota Sumenep saat Irwan berkunjung
saat jeda libur kontes.
Jika ditelisik, sebenarnya Irwan bukanlah orang
Madura pertama yang karirnya cemerlang di belantara musik dangdut tanah air.
Sekadar menyebut contoh, sebelumnya ada nama-nama tenar macam Imam S. Arifin,
Jhonny Iskandar, dan Yus Yunus. Mereka merupakan trio yang sempat merasakan
manisnya popularitas sebagai artis dangdut. Kini, layak dikatakan sebagai panggungnya
Irwan. Namanya sedang meroket, yang bisa jadi lebih bersinar dibandingkan nama Arya
Wiraraja, tokoh Madura dan raja pertama Kabupaten Sumenep.
Keberadaan Irwan merupakan fenomena yang mudah kita temui di pelbagai daerah lain di Indonesia. Fakta yang paling dekat, teman-teman kontestan Dangdut Academy lain juga mendapatkan sambutan begitu heboh. Yang membuat fenomena ini mencuat karena tim kreatif DA Indosiar berhasil menyuguhkan tontonan yang menyentuh bahkan masuk ke relung emosi pemirsanya. Seperti memberitakan sisi personal masing-masing kontestan, dengan dibumbui serangkaian “drama”. Ingat, media televisi bisa menyuguhkan apa pun demi terdongkraknya rating.
Fenomena Irwan yang bagi sebagian kalangan dianggap
terlalu berlebihan sejatinya bukanlah fenomena yang aneh di era teknologi
informasi yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Selebitras dan sejenisnya
sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat selama masih bisa mengakses
informasi. Nilai-nilai beken yang
melekat pada selebritas dan dipandang saban hari tak jarang diinternalisasi
sehingga tak jarang pula menghadirkan sebuah fantasi. Maka, hal yang lazim jika
di pedesaan banyak ditemukan orang yang bergaya dan bertingkah laiknya artis
ibu kota.
Kemudian, munculah bayangan-bayangan yang terlintas
di benak mereka bahwa menjadi artis merupakan cara yang efektif untuk menyulap
nasib agar lebih baik. Terlebih lagi, apabila terdapat kekecewaan atau
ketidakberuntungan masyarakat atau “apalah” namanya yang dirasakan secara
kolektif. Hal ini bisa ditemui dalam realitas politik di tingkat lokal. Kehadiran sosok idola
menjadi semacam obat mujarab atas penyakit-penyakit yang dirasakan masyarakat.
Baik itu deprivasi yang menyangkut masalah kesehatan, pendidikan,
infrastruktur, lapangan kerja, dan semacamnya.
Artinya, pengkultusan terhadap sosok tertentu bisa
terjadi ketika orang banyak berhadapan dengan realitas hidup yang tak sesuai
dengan harapan, atau tidak berjalan pada treknya. Di sisi lain, mereka
merindukan sosok yang bisa mewakili identitas kulturalnya. Popularitas
seseorang juga menjadi popularitas dirinya. Yang berlaku kemudian “aku adalah
dia” dan “dia adalah aku”. Jika sosok yang diidolakan oleh “aku” dielu-elukan,
maka “aku” turut merasa bangga dan senang, karena “aku dan dia” merupakan dua
entitas yang tak terpisahkan.
Akhiran,
kata peribahasa Madura ajem sapatarangan
tak pade bulunah. Terjemahan bebas dari peribahasa ini adalah bahwa setiap
orang memiliki bakatnya masing-masing. Irwan sedang terbang tinggi dan akan
juga tenggelam di kemudian hari. Sosoknya akan tergantikan oleh “sesuatu” yang
lain. Oleh sebabnya, tak bijak apabila membaca Irwan sebagai realitas tunggal
dan dijadikan satu-satunya referensi. Tanpa maksud menegasikan, banyak pula
teladan-teladan lain yang sangat layak dijadikan referensi seperti Mahfud MD
sebagai akademisi-politisi atau D. Zawawi Imron dengan segudang puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar