Pages

Rabu, 27 Juni 2012

Dongeng untuk Para Pendidik

tertidur aku melihatmu terpingkalpingkal dengan doktor berdasi di balkon
berpongahpongah di gedung megah, menepis aliranaliran kritik yang kupancang
bertubitubi
tertidur aku melihatmu menyetubuhi kenakalanku dengan petaka tak bertepi
adalah setumpuk gairah, menyala di sana, gemetar seperti menyeka musim gugur
di titik nadir kealpaan manusia

dari bebangku kosong: anakanak ladang menyulam
harapan. di sungaisungai, di aliran deras itu,
mereka sibuk berburu ikan hingga menjarah waktu
demi mengais hurufhuruf
demi meretas katakata

tertidur aku mengikuti tingkah lakumu menenteng kertaskertas pemboros
ucapanmu bernanah menodai kupingku di sebuah taman yang teramat pengap
sungguh aku tergerus, mimpimimpiku berlarian kemanamana, membentur karang
tercabikcabik
tertidur aku mengikuti rumusrumus palsumu menyilang seperti lalulintas
sepanjang beriak kata yang kutawarkan kau tilang dengan seribu dogma
di setiap desir kepala menista

ke timur, menuju tepi. saat harapan tinggal seujung
galah. orang tuatua memeras keringatnya,
telah dikulitinya tenaga dan doa berlembarlembar
            demi mencapai takdir
            dengan darahnya sendiri

tertidur aku pada perjamuan makanmu mengelabuhi gerimis hingga tersungkur
beberapa kali kau menyuruhku menatap gemintang, seakan bintangmu itu yang
berbinarbinar
tertidur aku pada ketertutupanmu tentang ketidaktahuan bersama jeratan waktu
di jembatan usiaku yang kian menjalar, kupegang tanganmu erat, menyerabut
di altaraltar kemesraaan

ke barat, menuju muara. setelah mimpi membentang
tengadah. tapi semua masih terasa hambar,
telah kugali cinta, sedang engkau terus mengeja
            demi menggapai ujung
            demi mengenang semenanjung

Yogyakarta-Kandang, 2012 (By: NK)

Senin, 11 Juni 2012

Politik Pasca Identitas

Oleh: Nuzulul Khair*

Berbicara masalah kebebasan dan kedaulatan dalam arti yang sederhana, kita tidak akan pernah melupakan sejarah rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Sebelum zaman pra-kemerdekaan fisik bangsa dikuasai oleh pihak kolonial, harapan akan merengkuh kembali jati diri bangsa selalu diamini lewat perjuangan rakyat sendiri. Hal tersebut sudah lama kita ketahui geliatnya dan memberi imbas positif hingga sekarang. Berbekal bambu runcing dan semangat yang berkobar, pada puncaknya kita telah merdeka dari penjajahan pihak asing. Rakyat Indonesia pun bisa menjamin aspirasi politiknya secara leluasa.

Setiap pelaksanaan pemilu rakyat cuma sekadar mencoblos dan kebanyakan tidak paham apa maksud di balik penconblosannya. Sebab mereka tidak tahu harus berbuat apa di tengah berbagai atribut politik yang selama ini menawarkan segala macam menu. Para calon pemimpin dengan berbagai cara mewartakan janji-janji politik. Rakyat Dicekoki dengan sajian yang meriah namun dibuat bingung saat akan mencicipi rasanya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah faktor satu keterpurukan bangsa ini. Depolitisasi manusia.

Realitas ini yang kemudian menggugah penulis untuk mengetengahkan wacana politik pasca-identitas. Politik yang selama ini dijadikan salah satu instrumen untuk mengurusi negara dengan berbagai macam segmentasinya, semestinya diubah menjadi semacam seni menata masyarakat yang lebih proporsional. Jadi, antara cara dan tujuan berimbang atau tidak pincang. Kalau boleh dibilang kesejahteraan masyarakat tidak ditawarkan dalam bentuk angan-angan semata (iklan politik). Sebab hal itu akan nampak ‘jumud’ apabila tidak dibarengi realisasi kongkrit dan perubahan ke arah yang lebih positif.

Sedangkan dinamika partai politik sekarang sedang getol-getolnya memoles pencintraan demi mendapatkan kekuasaan. Secara logis para kandidat yang ingin maju ke gelanggang politik tidak hanya menggunakan nalar kosmetik, yang berusaha mempercantik sesuatu yang sebenarnya tidak menarik dan tidak pas. Andaikata ini terlanjur diejewentahkan maka akan membidani lahirnya absolutisme kekuasaan dan meninggalkan nilai-nilai demokratis. Berbagai fakta ini akan melahirkan individualisme yang menuntut adanya perbedaan yang nantinya menjurus pada politik identitas.

Sebuah pencintraan diri yang selalu digembar-gemborkan oleh partai politik terutama oleh calon-calonnya, tidak semuanya dapat dibenarkan dan masih perlu dikritisi. Sebab pencitraan sejatinya dimunculkan bukan oleh pihak internal yang menjadi penilai, akan tetapi oleh pihak eksternal secara obyektif. Pencintraan internal lebih diidealkan untuk perbaikan diri individu bukan untuk perbaikan orang yang lain, atau kita lebih tepat mengistilahkannya sebagai konsep internalisasi nilai. Citra lebih pada apa yang menjadi penilaian orang lain terhadap partai tertentu ataupun calon tertentu, agar masyarakat benar-benar tahu kelebihan dan kekurangan dan apa yang sekiranya patut diteladani. 

Selasa, 05 Juni 2012

Wisuda: Selayang Pandang

                      (Bersama Kedua Orang tua tercinta)


                                     (paman dan bibi)