Oleh: Nuzulul Khair
Saya memulai tulisan sederhana ini dengan sedikit bercerita. Saat sedang liburan kuliah bertepatan dengan bulan suci ramadhan, tanpa sengaja saya mendengar berita dari tetangga. Berita itu tidak lagi prestisius padahal menimpa orang yang begitu prestisius. Saat Ibrohim yang diduga Nurdin M. Top digrebek di Temanggung, media seakan berlomba-lomba menayangkannya. Para pejabat, dosen, mahasiswa, penjual angkringan tidak melewatkan sekejap mata pun untuk mengikuti detik-detik penyergapan. Mengapa fenomena ini tidak terjadi saat NMT asli terbunuh di Solo? Beritanya pun biasa-biasa saja.
Kegelisahan di atas memicu saya untuk berpikir ulang tentang pada level apa sebenarnya teroris yang selama ini kita persepsikan. Banyak asumsi yang berkembang, cendekiawan dan kaum intelektual sebagian dari mereka mengatakan tindakan kejam itu muncul sebab sempitnya paham keagamaan para bomer. Kaum politikus menilai hal ini tidak terlepas dari politik luar negeri. Hal ini cukup beralasan, itu sebabnya mengapa bom itu meledak di Jakarta bukannya di Papua sana? Sebab Jakarta adalah ruh Indonesia yang beritanya akan cepat tersebar ke ranah dinamika politik internasional.