Pages

Selasa, 19 Oktober 2010

Teroris, Problem Penyesuaian?

Oleh: Nuzulul Khair

Saya memulai tulisan sederhana ini dengan sedikit bercerita. Saat sedang liburan kuliah bertepatan dengan bulan suci ramadhan, tanpa sengaja saya mendengar berita dari tetangga. Berita itu tidak lagi prestisius padahal menimpa orang yang begitu prestisius. Saat Ibrohim yang diduga Nurdin M. Top digrebek di Temanggung, media seakan berlomba-lomba menayangkannya. Para pejabat, dosen, mahasiswa, penjual angkringan tidak melewatkan sekejap mata pun untuk mengikuti detik-detik penyergapan. Mengapa fenomena ini tidak terjadi saat NMT asli terbunuh di Solo? Beritanya pun biasa-biasa saja.

Kegelisahan di atas memicu saya untuk berpikir ulang tentang pada level apa sebenarnya teroris yang selama ini kita persepsikan. Banyak asumsi yang berkembang, cendekiawan dan kaum intelektual sebagian dari mereka mengatakan tindakan kejam itu muncul sebab sempitnya paham keagamaan para bomer. Kaum politikus menilai hal ini tidak terlepas dari politik luar negeri. Hal ini cukup beralasan, itu sebabnya mengapa bom itu meledak di Jakarta bukannya di Papua sana? Sebab Jakarta adalah ruh Indonesia yang beritanya akan cepat tersebar ke ranah dinamika politik internasional.

Orang Gila

‘Orang gila’, sebutan ini tentunya sudah tidak asing di telinga. Di masyarakat kita, banyak sekali ditemukan istilah yang mewakili kondisi orang tersebut, yang kalau di dunia psikologi dikenal dengan skizofrenia (yang di jurusan psikologi mesti paham). Skizofrenia secara sederhana bisa dipahami sebagai orang yang sakit akut secara psikologis.

Kenapa disebut sakit?

Biasanya, term sakit diperuntukkan bagi sesuatu yang sedang tidak berfungsi seperti biasanya, entah itu karena ada something error dan semacamnya. Orang yang mengalami skizofrenia fungsi kesadarannya tidak berfungsi seperti orang kebanyakan. Orang tersebut sadar, tetapi kesadaran itu hanya berkutat pada frame pikirannya sendiri.

Sabtu, 09 Oktober 2010

MEMBAJAK JIWA UNTUK MEMAHAMI KONFLIK ANTAR GOLONGAN

Oleh: Nuzulul Khair

Pengantar 

Di temani Caffucino Coffee, saya sebenarnya belum punya motivasi untuk menulis tentang tema di atas. Bagi saya, saat ini masih terlalu dini untuk terlalu berterus terang menelanjangi konflik dari perspektif Psikologi. Apa pasal? Sebab selama ini psikologi belum punya bangunan teoretis yang pas untuk mengkaji konflik layaknya teori konfliknya Sosiologi. Kecuali, bahasan yang berkaitan dengan konflik intrapsikis, psikologi sudah lama bahkan sampai jungkir balik mengkaji dari waktu ke waktu. Akan tetapi, setelah melihat judul salah satu berita di koran Tempo beberapa waktu yang lalu, “Afrika Berdarah” dan dijudul lain “Timika bergolak”, saya merasa tidak punya alasan untuk melakukan defense, mau tidak mau saya harus menuliskannya, demi menimbang kembali problem separatisme dan masa depan kemanusiaan.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Awas, Ada Kecemburuan di Brain Gym?!!!

Puluhan anak kecil itu terlihat asyik dengan potongan lidi di mulut mereka. Tangan mereka lincah menuding teman anggota permainan yang lain. Ya, kala itu mereka sedang mengikuti salah satu aktifitas Brain Gym yang saya pandu. Ada yang meriung di belakang mereka, yaitu adik-adik yang masih kecil. Tak ketinggalan pula, para ibu-ibu juga terlibat walaupun hanya sekedar menjadi penonton.