Pages

Rabu, 23 Mei 2012

Sebuah Karcis Putih dan Noktah-Noktah (yang) Menyertai

Karcis di atas adalah 2 karcis yang paling sering saya genggam di tangan. Mengingat, kedua karcis itu yang mengantarkan dan menemani saya selama studi di Yogyakarta, paling tidak sampai tulisan ini diturunkan. Meski seringkali berganti armada, namun kedua karcis itulah yang paling banyak menghiasi saku saya. Sebagai bentuk kenangan, saya akan menuliskan daerah2 kawasan Madura yang dilewati karcis berwarna putih, yang mana melewati 4 kabupaten di pulau Madura (tanah kelahiran saya).

Sabtu, 19 Mei 2012

Korupsi: Sebuah Angin Lalu

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi, mulai dari yang dilakukan oleh kaum elit semacam pejabat tinggi negara hingga aparat-aparat yang ada di kecamatan, menjadi indikasi bahwa perilaku korupsi di Indonesia sedang berada pada level akut. Maka tidak usah heran jika, pemberitaan di media massa setiap hari selalu dihiasi persoalan korupsi, korupsi, dan korupsi.

Buku sebagai Biblioterapi

Sebagai seorang pecinta buku, saya tertarik untuk membingkas pentingnya buku sebagai terapi masalah-masalah kehidupan. Buku sekarang bukan lagi milik penerbit, pembaca, pebisnis, penulis, perpustakaan, dan toko buku. Melainkan milik orang-orang yang menghendaki dirinya keluar dari segudang masalah apapun bentuknya, solusi bagi pelbagai problem yang berbelit-belit, menggapai ketenangan, rasa damai, dan gayung elastis untuk menggapai ketentraman jiwa.

Kamis, 17 Mei 2012

Seribu Doa Bagi Tuhan & Dunia

bagimu Tuhan
kupersembahkan doa
dari lirih kecil yang kusunsun
menjadi proyek musiman
antara derita dan bahagia

kutebas gerhana masa lalu
masa kini sisa gulita
tak ada tepian cahaya
membingkas daya takwa
semoga lintingan harap ini
bisa kuledakkan menjadi
bom waktu keimanan

bagimu malaikat
kupinjam sayap
tuk menaungi para petani
kulit mereka lebam dicakar
sinar kemunafikan
perjuangan menjadi penjara
saat kuasa berkelamin agama
saat makan bukan selera
tapi nafsu dan fantasi

bagimu para nabi
bingkai kembali seribu sabda
tentang indahnya perdamaian
kumohon dengan panggang
haru
atas kematian tanpa ratap

bagimu para penyair
kata-kata bukanlah teka-teki silang
laut kau cipta sajak
sementara ikan tak nafsu makan
kala menafsir sajakmu yang kering persoalan
tak ada getar dunia, kawan
selain percikan kata kati

bagimu penggila birokrasi
ku tak mengerti kebijakanmu
ku tak mengerti makna tanda tanganmu
yang memiskinkan nurani
belum mati tapi kami sudah suri
diterpa persoalan yang kau buat
dan langkalah
kebenaran-kebenaran itu

untukmu para selebriti
tubuhmu kian sintal berliuk
membuatku tidak selera pada berita
tentang nasib tanah airku

bagimu dunia
bungkus doa-doaku
menjadi hidangan sejuk
di leliukan panas yang kian gelora

Yogyakarta 12 Agustus 2009

Hijau dan Biru: Sebuah Pesona

Sudah menjadi rahasia umum, kalau orang Madura tidak mengenal kata hijau. Bukan berarti buta pada warna hijau, hanya saja tidak memiliki istilah yang familiar dalam kamus kesehariannya. Untuk menyebut hijau orang Madura biasanya menggunakan istilah “biru” atau dengan penekanan “biru daun”.

Karenanya, tidak jarang mereka salah dalam memersepsikan hijau. Kasus yang paling sering terjadi misalnya dalam urusan administrasi, seringkali tertukar antara map hijau dengan map biru. Fenomena yang cukup menggelikan ini tidak hanya dialami oleh orang tua-tua, tapi juga kaum muda misalnya pada saat melengkapi syarat administratif di Perguruan Tinggi.

Sepertinya, biru dan hijau mengandung nilai penghayatan tersendiri bagi orang Madura, seperti sudah terkonstruksi di pikiran bawah sadar mereka bahwa hijau adalah biru dan biru adalah hijau itu sendiri. Agaknya ‘warna’ itu tampil mirip dalam proses yang berlaku di dalam lalu lintas berkesadaran orang Madura.

Terkait warna, sebenarnya tubuh manusia mengandung sebuah spektrum warna yang setiap warna-warna tersebut menunjukkan taraf kesadaran yang berbeda.Warna dasariah manusia adalah merah yang menunjukkan naluri bertahan hidup, vitalitas atau energi. Dan, warna merah masih berada pada taraf kesadaran diri atau kesadaran individual. Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang masih berkesadaran merah, tidak terpikirkan keinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Di lain pihak, beberapa tim sepak bola menggunakan warna merah sebagai warna kaos kebanggaan. Sebagai upaya sugestif agar para pemain tetap berjuang dan tidak cepat menyerah selama pertandingan berlangsung.

Naik satu tingkat, kesadaran di atas merah adalah kuning. Kuning adalah kesadaran sosial. Orang yang berkesadaran kuning, ia tergolong yang peduli dengan kebersamaan dan toleransi. Niscaya kuning tidak menjadi sesuatu yang otoriter, melainkan solider, mungkin begitu adagiumnya.Naik lagi satu tingkat, kesadaran di atas merah adalah hijau. Hijau identik dengan sesuatu yang fresh, hijau adalah kesadaran cinta. Kesadaran semacam ini lebih nampak ketika menghadapi apa yang disebut dengan ketulusan, kasih sayang atau saling mengasihi. Dengan begitu bisa dikatakan, bila hijau tak lagi tegak dalam berkesadaran seseorang, ia rentan terjebak di alam propaganda. Berkesadaran Hijau—ia senantiasa menuntun kita pada yang “indah”. Setelah hijau adalah biru. Kesadaran biru cukup lekat dengan kesadaran hijau. Hanya saja, biru melambangkan sebuah cinta yang transenden—dan di sini, yang tersadari adalah kualitas cinta yang ilahiyah. Oleh karena itu, berkesadaran biru nyaris tak terpisahkan dengan berkesadaran hijau.

Apakah penghayatan atas keintiman warna hijau dan biru, yang membuat orang Madura sampai sekarang terkadang pangling dengan kedua warna ini? Entahlah… Wallahu’alam“Warnamu Kesadaranmu”.

NK, Nogopuro-YK, 5/11/12).