Pages

Rabu, 21 November 2012

Magna Carta



Pangkat melaparkan bangsaku
Sejak tak ada lagi Erlangga menitahkan kesetaraan

Hari ini kita dikungkung oleh sekat martabat
Saat kuasa menajamkan tajinya
Dan waktu ditinggal lari
Menertawakan yang tak terbagi

Risau
Bangsaku sakau
Dimabuk oleh siapa, yang memimpikan segala
Antah berantah

Hari ini orang-orang miskin berpetualang sendiri
Menyuarakan pengharapan hidup dari lubuk terdalam
Anak-anak mereka kurus
Dikikis oleh bangunan-bangunan serba mulus

Jikalau
Erlangga mengigau
Dimimpikan oleh siapa, yang memperdulikan segala
Yang lemah

Bangsaku akan kenyang sendiri
Tanpa harus disuapi sepiring nasi

Sampai waktunya tiba, kesetaraan itu
Merindukan yang tak pulang-pulang

Yogyakarta, November 2012

Senin, 02 Juli 2012

Membangun Optimisme Anak

Oleh: Nuzulul Khair
 
Pendidikan disadari telah merambah ke pelbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia, baik itu pendidikan formal di bangku-bangku sekolah ataupun pendidikan orang tua asuh yang berkembang di lingkungan keluarga. Khusus di lingkungan keluarga, di sini peran orang tua yang sangat menentukan terbentuknya karakter anak. Apabila orang tua mampu menjadi model yang baik maka akan memberikan pengaruh yang baik bagi kepribadian anak. Sebaliknya, model yang buruk dari orang tua tidak mustahil akan melahirkan ekses negatif pada anak.
 
Peran pendidikan orang tua pada anak dinilai terasa penting untuk ditanamkan sejak usia dini. Mengingat, dewasa ini kehidupan global dengan berbagai atributnya begitu mudah dikonsumsi oleh anak nyaris tanpa filter. Tentu saja, semakin canggihnya teknologi informasi mempermudah memperoleh informasi. Meski demikian, hal ini juga membawa kebudayaan dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang keberadaannya semakin tergerus.

Rabu, 27 Juni 2012

Dongeng untuk Para Pendidik

tertidur aku melihatmu terpingkalpingkal dengan doktor berdasi di balkon
berpongahpongah di gedung megah, menepis aliranaliran kritik yang kupancang
bertubitubi
tertidur aku melihatmu menyetubuhi kenakalanku dengan petaka tak bertepi
adalah setumpuk gairah, menyala di sana, gemetar seperti menyeka musim gugur
di titik nadir kealpaan manusia

dari bebangku kosong: anakanak ladang menyulam
harapan. di sungaisungai, di aliran deras itu,
mereka sibuk berburu ikan hingga menjarah waktu
demi mengais hurufhuruf
demi meretas katakata

tertidur aku mengikuti tingkah lakumu menenteng kertaskertas pemboros
ucapanmu bernanah menodai kupingku di sebuah taman yang teramat pengap
sungguh aku tergerus, mimpimimpiku berlarian kemanamana, membentur karang
tercabikcabik
tertidur aku mengikuti rumusrumus palsumu menyilang seperti lalulintas
sepanjang beriak kata yang kutawarkan kau tilang dengan seribu dogma
di setiap desir kepala menista

ke timur, menuju tepi. saat harapan tinggal seujung
galah. orang tuatua memeras keringatnya,
telah dikulitinya tenaga dan doa berlembarlembar
            demi mencapai takdir
            dengan darahnya sendiri

tertidur aku pada perjamuan makanmu mengelabuhi gerimis hingga tersungkur
beberapa kali kau menyuruhku menatap gemintang, seakan bintangmu itu yang
berbinarbinar
tertidur aku pada ketertutupanmu tentang ketidaktahuan bersama jeratan waktu
di jembatan usiaku yang kian menjalar, kupegang tanganmu erat, menyerabut
di altaraltar kemesraaan

ke barat, menuju muara. setelah mimpi membentang
tengadah. tapi semua masih terasa hambar,
telah kugali cinta, sedang engkau terus mengeja
            demi menggapai ujung
            demi mengenang semenanjung

Yogyakarta-Kandang, 2012 (By: NK)

Senin, 11 Juni 2012

Politik Pasca Identitas

Oleh: Nuzulul Khair*

Berbicara masalah kebebasan dan kedaulatan dalam arti yang sederhana, kita tidak akan pernah melupakan sejarah rakyat Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Sebelum zaman pra-kemerdekaan fisik bangsa dikuasai oleh pihak kolonial, harapan akan merengkuh kembali jati diri bangsa selalu diamini lewat perjuangan rakyat sendiri. Hal tersebut sudah lama kita ketahui geliatnya dan memberi imbas positif hingga sekarang. Berbekal bambu runcing dan semangat yang berkobar, pada puncaknya kita telah merdeka dari penjajahan pihak asing. Rakyat Indonesia pun bisa menjamin aspirasi politiknya secara leluasa.

Setiap pelaksanaan pemilu rakyat cuma sekadar mencoblos dan kebanyakan tidak paham apa maksud di balik penconblosannya. Sebab mereka tidak tahu harus berbuat apa di tengah berbagai atribut politik yang selama ini menawarkan segala macam menu. Para calon pemimpin dengan berbagai cara mewartakan janji-janji politik. Rakyat Dicekoki dengan sajian yang meriah namun dibuat bingung saat akan mencicipi rasanya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah faktor satu keterpurukan bangsa ini. Depolitisasi manusia.

Realitas ini yang kemudian menggugah penulis untuk mengetengahkan wacana politik pasca-identitas. Politik yang selama ini dijadikan salah satu instrumen untuk mengurusi negara dengan berbagai macam segmentasinya, semestinya diubah menjadi semacam seni menata masyarakat yang lebih proporsional. Jadi, antara cara dan tujuan berimbang atau tidak pincang. Kalau boleh dibilang kesejahteraan masyarakat tidak ditawarkan dalam bentuk angan-angan semata (iklan politik). Sebab hal itu akan nampak ‘jumud’ apabila tidak dibarengi realisasi kongkrit dan perubahan ke arah yang lebih positif.

Sedangkan dinamika partai politik sekarang sedang getol-getolnya memoles pencintraan demi mendapatkan kekuasaan. Secara logis para kandidat yang ingin maju ke gelanggang politik tidak hanya menggunakan nalar kosmetik, yang berusaha mempercantik sesuatu yang sebenarnya tidak menarik dan tidak pas. Andaikata ini terlanjur diejewentahkan maka akan membidani lahirnya absolutisme kekuasaan dan meninggalkan nilai-nilai demokratis. Berbagai fakta ini akan melahirkan individualisme yang menuntut adanya perbedaan yang nantinya menjurus pada politik identitas.

Sebuah pencintraan diri yang selalu digembar-gemborkan oleh partai politik terutama oleh calon-calonnya, tidak semuanya dapat dibenarkan dan masih perlu dikritisi. Sebab pencitraan sejatinya dimunculkan bukan oleh pihak internal yang menjadi penilai, akan tetapi oleh pihak eksternal secara obyektif. Pencintraan internal lebih diidealkan untuk perbaikan diri individu bukan untuk perbaikan orang yang lain, atau kita lebih tepat mengistilahkannya sebagai konsep internalisasi nilai. Citra lebih pada apa yang menjadi penilaian orang lain terhadap partai tertentu ataupun calon tertentu, agar masyarakat benar-benar tahu kelebihan dan kekurangan dan apa yang sekiranya patut diteladani. 

Selasa, 05 Juni 2012

Wisuda: Selayang Pandang

                      (Bersama Kedua Orang tua tercinta)


                                     (paman dan bibi)

Rabu, 23 Mei 2012

Sebuah Karcis Putih dan Noktah-Noktah (yang) Menyertai

Karcis di atas adalah 2 karcis yang paling sering saya genggam di tangan. Mengingat, kedua karcis itu yang mengantarkan dan menemani saya selama studi di Yogyakarta, paling tidak sampai tulisan ini diturunkan. Meski seringkali berganti armada, namun kedua karcis itulah yang paling banyak menghiasi saku saya. Sebagai bentuk kenangan, saya akan menuliskan daerah2 kawasan Madura yang dilewati karcis berwarna putih, yang mana melewati 4 kabupaten di pulau Madura (tanah kelahiran saya).

Sabtu, 19 Mei 2012

Korupsi: Sebuah Angin Lalu

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi, mulai dari yang dilakukan oleh kaum elit semacam pejabat tinggi negara hingga aparat-aparat yang ada di kecamatan, menjadi indikasi bahwa perilaku korupsi di Indonesia sedang berada pada level akut. Maka tidak usah heran jika, pemberitaan di media massa setiap hari selalu dihiasi persoalan korupsi, korupsi, dan korupsi.

Buku sebagai Biblioterapi

Sebagai seorang pecinta buku, saya tertarik untuk membingkas pentingnya buku sebagai terapi masalah-masalah kehidupan. Buku sekarang bukan lagi milik penerbit, pembaca, pebisnis, penulis, perpustakaan, dan toko buku. Melainkan milik orang-orang yang menghendaki dirinya keluar dari segudang masalah apapun bentuknya, solusi bagi pelbagai problem yang berbelit-belit, menggapai ketenangan, rasa damai, dan gayung elastis untuk menggapai ketentraman jiwa.

Kamis, 17 Mei 2012

Seribu Doa Bagi Tuhan & Dunia

bagimu Tuhan
kupersembahkan doa
dari lirih kecil yang kusunsun
menjadi proyek musiman
antara derita dan bahagia

kutebas gerhana masa lalu
masa kini sisa gulita
tak ada tepian cahaya
membingkas daya takwa
semoga lintingan harap ini
bisa kuledakkan menjadi
bom waktu keimanan

bagimu malaikat
kupinjam sayap
tuk menaungi para petani
kulit mereka lebam dicakar
sinar kemunafikan
perjuangan menjadi penjara
saat kuasa berkelamin agama
saat makan bukan selera
tapi nafsu dan fantasi

bagimu para nabi
bingkai kembali seribu sabda
tentang indahnya perdamaian
kumohon dengan panggang
haru
atas kematian tanpa ratap

bagimu para penyair
kata-kata bukanlah teka-teki silang
laut kau cipta sajak
sementara ikan tak nafsu makan
kala menafsir sajakmu yang kering persoalan
tak ada getar dunia, kawan
selain percikan kata kati

bagimu penggila birokrasi
ku tak mengerti kebijakanmu
ku tak mengerti makna tanda tanganmu
yang memiskinkan nurani
belum mati tapi kami sudah suri
diterpa persoalan yang kau buat
dan langkalah
kebenaran-kebenaran itu

untukmu para selebriti
tubuhmu kian sintal berliuk
membuatku tidak selera pada berita
tentang nasib tanah airku

bagimu dunia
bungkus doa-doaku
menjadi hidangan sejuk
di leliukan panas yang kian gelora

Yogyakarta 12 Agustus 2009

Hijau dan Biru: Sebuah Pesona

Sudah menjadi rahasia umum, kalau orang Madura tidak mengenal kata hijau. Bukan berarti buta pada warna hijau, hanya saja tidak memiliki istilah yang familiar dalam kamus kesehariannya. Untuk menyebut hijau orang Madura biasanya menggunakan istilah “biru” atau dengan penekanan “biru daun”.

Karenanya, tidak jarang mereka salah dalam memersepsikan hijau. Kasus yang paling sering terjadi misalnya dalam urusan administrasi, seringkali tertukar antara map hijau dengan map biru. Fenomena yang cukup menggelikan ini tidak hanya dialami oleh orang tua-tua, tapi juga kaum muda misalnya pada saat melengkapi syarat administratif di Perguruan Tinggi.

Sepertinya, biru dan hijau mengandung nilai penghayatan tersendiri bagi orang Madura, seperti sudah terkonstruksi di pikiran bawah sadar mereka bahwa hijau adalah biru dan biru adalah hijau itu sendiri. Agaknya ‘warna’ itu tampil mirip dalam proses yang berlaku di dalam lalu lintas berkesadaran orang Madura.

Terkait warna, sebenarnya tubuh manusia mengandung sebuah spektrum warna yang setiap warna-warna tersebut menunjukkan taraf kesadaran yang berbeda.Warna dasariah manusia adalah merah yang menunjukkan naluri bertahan hidup, vitalitas atau energi. Dan, warna merah masih berada pada taraf kesadaran diri atau kesadaran individual. Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang masih berkesadaran merah, tidak terpikirkan keinginan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Di lain pihak, beberapa tim sepak bola menggunakan warna merah sebagai warna kaos kebanggaan. Sebagai upaya sugestif agar para pemain tetap berjuang dan tidak cepat menyerah selama pertandingan berlangsung.

Naik satu tingkat, kesadaran di atas merah adalah kuning. Kuning adalah kesadaran sosial. Orang yang berkesadaran kuning, ia tergolong yang peduli dengan kebersamaan dan toleransi. Niscaya kuning tidak menjadi sesuatu yang otoriter, melainkan solider, mungkin begitu adagiumnya.Naik lagi satu tingkat, kesadaran di atas merah adalah hijau. Hijau identik dengan sesuatu yang fresh, hijau adalah kesadaran cinta. Kesadaran semacam ini lebih nampak ketika menghadapi apa yang disebut dengan ketulusan, kasih sayang atau saling mengasihi. Dengan begitu bisa dikatakan, bila hijau tak lagi tegak dalam berkesadaran seseorang, ia rentan terjebak di alam propaganda. Berkesadaran Hijau—ia senantiasa menuntun kita pada yang “indah”. Setelah hijau adalah biru. Kesadaran biru cukup lekat dengan kesadaran hijau. Hanya saja, biru melambangkan sebuah cinta yang transenden—dan di sini, yang tersadari adalah kualitas cinta yang ilahiyah. Oleh karena itu, berkesadaran biru nyaris tak terpisahkan dengan berkesadaran hijau.

Apakah penghayatan atas keintiman warna hijau dan biru, yang membuat orang Madura sampai sekarang terkadang pangling dengan kedua warna ini? Entahlah… Wallahu’alam“Warnamu Kesadaranmu”.

NK, Nogopuro-YK, 5/11/12).