Beberapa
waktu yang lalu saya mendapat kabar dari seorang teman yang mengatakan bahwa di
daerah Sumenep ada seorang perempuan muda yang belum menikah melahirkan bayi
laki-laki tanpa melalui proses kehamilan. Ia kabarnya melahirkan setelah dua
malam sebelumnya secara berturut-berturut bermimpi ular. Awalnya saya tidak
tertarik dengan kabar tersebut. Namun, setelah kabar tentang bayi yang lahir tanpa proses hamil begitu merebak di
kalangan masyarakat dan sudah menjadi konsumsi media saya pun tertarik
mengetahuinya lebih jauh.
Dari
informasi yang saya dapatkan setelah menelusuri beberapa berita di media
online, kejanggalan adalah kata yang paling tepat untuk menyebut apa yang ada
dalam benak saya sehingga menimbulkan ketidakpastian. Perasaan ketidakpastian
juga dialami oleh para tetangga dan bahkan orang-orang melerakan diri datang
dari jauh untuk sekadar meredakan rasa penasaran. Sayangnya, masyarakat tak
serta-merta reda rasa penasarannya dan pulang dengan serangkaian kesimpulan
yang macam-macam.
Rasa
ketidakpastian yang dialami oleh seseorang di dalam dunia psikologi biasa
dikenal dengan disonansi kognitif. Semacam kontradiksi yang menyelimuti alam
pikiran. Salah satu cirinya adalah inkonsistensi logika, yaitu suatu logika
berpikir yang mengingkari logika berpikir lain. Misalnya dalam kasus ini, seseorang
yang percaya bahwa hanya pada kasus Nabi Isa yang terlahir tanpa proses
kehamilan dan di sisi lain juga meyakini secara sungguh atas segala macam
bentuk kuasa Tuhan.
Ada
tiga cara agar pikiran kembali selaras. Pertama, menyelaraskan pikiran yang disonan.
Pikiran disonan adalah pikiran-pikiran yang saling bertolakbelakang. Misalnya, kalau
Tuhan sudah berkehendak, hal yang bagi kita terasa janggal dan mustahil menjadi tidak mustahil.
Kedua, mencari argumen yang mendukung. Bagi orang yang tidak percaya pada kabar
tersebut, kan bisa dengan tes DNA, beres. Tapi bagi kasus ini, apa guna dan
manfaatnya tes DNA? Ketiga, mengabaikannya. Menganggap fenomena tersebut sebagai
fenomena biasa saja.
Oleh
sebabnya, sah-sah saja orang menanggapi kabar ini dengan cara pandang
masing-masing selama itu masih pada taraf tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
Meskipun mimpi ular merupakan mimpi yang cukup populer dalam fenomena tidur dan
pikiran bawah sadar manusia sejak zaman kuno, tak sedikit yang mungkin
mengatakan bahwa mimpi itu sebatas alibi. Terlepas sebuah alibi atau bukan,
saya yakin itu demi kebaikan sang bayi. Meminjam perspektif Neuro Linguistic Programming (NLP),
setiap perilaku, apapun jenisnya selalu memiliki intensi kebaikan.
Apa
lacur? Dari sekian banyak celetukan yang muncul, saya tertarik
dengan frasa yang cukup menggelitik yaitu frasa “Bayi Ajaib”. Frasa ini berlatar bayi yang dipandang lahir tanpa proses hamil. Frasa ini
menyebar di kalangan masyarakat, yang tak lain dan tak bukan karena peran media.
Tanpa menafikan peran media komunikasi secara mouth to mouth atau “caca colok” (versi madura, red), peran media massa terutama media online menjadikan
fenomena ini punya daya tarik yang kuat laiknya magnet. Sedangkan bagi saya
pribadi, tak ada yang aneh dengan frasa ini karena pada hakekatnya semua bayi
itu ajaib.
Di
balik kepolosan dan keluguannya, bayi memiliki banyak keajaiban. Ia tak perlu
tergabung dalam komunitas stand up comedy
untuk membuat orang-orang di sekitarnya merasa senang dan tertawa, ia pula tak
perlu ikut latihan drama untuk membuat orang-orang di sekitarnya menangis sesenggukan.
Tak perlu kursus magic untuk membuat
anda terhanyut saat bersamanya. Bayi juga memiliki daya ingat yang sangat kuat,
ia bisa menghafal banyak nada dengan baik dan cepat, ia juga pandai berbagi secara
adil dengan bayi-bayi lain dimana orang-orang dewasa sudah mulai lupa bagaimana
cara berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar