Kegiatan Maiyah
kali ini, senin, 17 Oktober 2014 mengangkat topik “Khalaqah Baginda Khidir”.
Topik yang bulan-bulan ini menjadi concern
kajian Maiyah dan NM (Nahdlatul Muhammadiyin). Namun, kehadiran pelatih kepala
Timnas U-19 Indra Sjafri di Maiyah menjadikan topik yang rada-rada sufistik ini
kemudian dielaborasi dengan sepak terjang skuad Timnas U-19.
Sebelum mendiskusikan topik di atas, Jama’ah Maiyah terlebih dahulu
mendiskusikan tentang makaryo, salah
satu filosofi orang Jawa yang bermakna spirit untuk berkarya. Dalam khazanah
kebudayaan Jawa, makaryo berkonotasi
produktif sedangkan kalau kerjo (kerja,
red) berkonotasi mekanis.
Lebih jauh, makaryo
menitikberatkan pada keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban. Apabila kita
menuntut banyak hak di dalam aktivitas hidup, maka niscaya kita harus memenuhi
pelbagai kewajiban yang kita tanggung. Keselarasan antara hak dan kewajiban bisa
menjadi cikal bakal kesuksesan.
Nilai lain yang terkandung dalam makaryo selain nilai produktifitas adalah
ngasto. Ngasto bermakna membawa, dalam arti luas bagaimana kita sebagai
aktor kehidupan menguasai terhadap pekerjaan dan bukan sebaliknya, yaitu
berposisi sebagai budak dari pekerjaan.
Dalam perspektif makaryo, kerja hanya kegiatan sampingan. Sedangkan pekerjaan
utamanya adalah menjalani hidup yang semestinya. Oleh sebab itu, masyarakat makaryo adalah masyarakat yang bukan bergiat karena
menjalankan perintah melainkan menekankan pada pemaksimalan potensi.
Terkait dengan isu desa, adanya UU desa yang baru
disahkan dengan bakal dikucurkannya dana bagi desa dan berkisar 1 milyar
merupakan peluang yang strategis untuk memaksimalkan potensi desa. Sebuah ironi,
apabila dana sebesar itu kemudian hanya teralokasikan kerjo bukan makaryo.
Spirit
Bangkit U-19
Ketidakberhasilan Timnas U-19 dalam upayanya untuk
lolos kualifikasi menuju piala dunia U-20 yang berlangsung di Myanmar baru-baru
ini, bukanlah kegagalan apabila dilihat dari perspekstif makaryo. Karena usaha yang telah mereka lakukan merupakan proses
penggalian potensi menuju kebangkitan.
Berbeda jika potensi anak-anak muda tersebut
dieksploitasi semata-mata untuk kepentingan pasar, atau pemenuhan kepentingan
pihak-pihak tertentu, maka ketidakberhasilan ini akan dicap sebagai sebuah
kegagalan dan jauh dari dimensi profesional.
Semestinya tolok ukur yang dipakai untuk melihat
pencapaian yang telah diperoleh oleh skuad Timnas U-19 adalah pada prosesnya. Karena
sebuah keberhasilan bukan berarti menang selama-lamanya, tetapi terletak pada
spirit untuk terus memperbaiki kesalahan-kesalahan demi menuju capaian yang
lebih baik.
Ajaran
Khidir
Pada pertengahan malam, diskusi Maiyah mengerucut
pada kajian tentang Nabi Khidir yang misterius. Sosok yang membuat Nabi Musa
ternganga tak mengerti atas “tingkah polahnya” hingga tak tahan untuk bertanya,
mengapa ia melubangi perahu, mencekik anak kecil dan menegakkan gubuk yang mau
roboh.
Kisah Nabi Khidir yang termaktub di dalam Al-Quran
surat Al-Kahfi 65-82, tak cukup
memberikan petunjuk yang spesifik tentang Khidir. Pada ayat-ayat tersebut hanya
disebutkan hamba Allah, tak ada penyebutan nama yang spesifik. Muhammad Sayyid
Qutub di dalam tafsirnya Fi Zhilalil Quran menyebutnya dengan
hamba yang shaleh.
Selain kontroversi terkait nama, terdapat
kontroversi di kalangan para mufassir terkait nasab Nabi Khidir. Ada yang mengatakan
keturunan Nabi Adam, keturunan ketujuh Nabi Nuh dan ada yang mengatakan
keturunan Nabi Harun. Kontroversi yang lain terkait Nabi Khidir yakni apakah
masih hidup atau sudah mati.
Sedangkan menurut Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun,
tak penting membahas tentang kebenaran materiil Khidir, karena yang dimaksud
dengan Khidir tak lain dan tak bukan merupakan merasakan sebuah kehadiran dari
Tuhan Allah SWT manakala kita sedang merasa tidak mampu untuk menyelesaikan
persoalan yang sedang dihadapi.
Oleh sebab itu, tidak perlu melakukan perdebatan
akademis mengenai sosok Khidir, dengan sendirinya kita akan mengetahui apabila masih
berpegang teguh pada keyakinan bahwa ada Sesuatu yang senantiasa hadir saat
kita sedang merasa tak sanggup mengubah sebuah keadaan. Masih ada, sebuah Kekuatan
yang bisa memutar keadaan.
Jadi tidak ada kata putus asa saat kita sedang menemui
kegagalan selama kita memasrahkan diri kita pada Allah SWT yang senantiasa
hadir memberikan kita kekuatan dan optimisme. Hanyalah pada Allah sebaik-baiknya
tempat kita untuk bersandar. Wa laa
khaufun alaihim walahum yahzanun (N/K, dirangkum dari acara pengajian
bulanan Mocopat Syafaat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar