Pages

Selasa, 10 Maret 2015

Psikologi Islami: Menuju Psikologi Holistik-Aplikatif (Sebuah Refleksi Kritis)*

Intisari

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memaparkan tantangan dan prospek psikologi dalam  dunia akademik terutama lembaga yang concern dalam kajian ilmu keislaman baik organisasi ataupun lembaga pendidikan secara umum. Sekaligus menyoroti kecakapan-kecakapan  psikologi Barat yang telah diberikan kepada mahasiswa Jurusan Psikologi UIN Sunan Kalijaga dalam pelbagai diskusi kampus pada khusunya, dan untuk Perguruan Tinggi Islam yang lain. Penulis kemudian berusaha melihat kesesuaian antara kebutuhan pendekatan keislaman dalam dunia keilmuan psikologi tersebut dengan tetap memahami kerangka teoretik psikologi kontemporer. Pada akhirnya, penulis berusaha menawarkan wacana alternatif yang dapat dilakukan untuk menambah keseriusan pengembangan keilmuan, yaitu sumbangsih diskursus secara implisit di dalam proses pengembangan keilmuan yang integralistik.

 A. Pendahuluan

Keberadaan agama bagi umat manusia bukanlah sekadar rutinitas sakral yang menuntut untuk dikultuskan. Di dalamnya terkandung hikmah universal yang bisa dihayati secara lebih eksplisit terkait dengan problem sosial berikut pemecahannya. Saat ini,  keberagamaan seseorang di tengah modernitas belum menyentuh pada kesadaran total yang berimbang antara keyakinan dan pengaplikasiannya, bahkan seringkali ditemukan reduksi keyakinan dan disorientasi iman yang tidak disadari ataupun secara sengaja memicu lahirnya kekacauan hidup. Sikap ini bisa memunculkan penyakit psikis baik individual ataupun sosial, terlebih lagi kaum yang tidak beragama hampir dipastikan kondisinya lebih miris.

Meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya: Psikologi Agama (2003), ia menulis seperti ini tentang agama sekarang:

Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari—di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu misterius: ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan—memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.”

Menurutnya, ada semacam ketidakjelasan orientasi keberagamaan yang seharusnya dimiliki oleh masing-masing individu, kelompok, ataupun penganut agama secara umum. Padahal agama merupakan ultimate concern, kebutuhan tertinggi umat manusia selama hidup di dunia maupun di akhirat. Muatan agama begitu kompleks dan sangat transenden, tugas manusia adalah memaksimalkan potensi petunjuk yang telah disediakan oleh Tuhan tersebut untuk kepentingan aktifitas di muka bumi yang fana. Kehadirannya tidak untuk memperumit bahkan sumber ketenangan jiwa dan solusi atas pelbagai persolan. Agama bukanlah fenomena pemuas kebutuhan kekanak-kanakan seperti halnya yang diungkapkan oleh Sigmund Freud.[1]

Di balik kecanggihan sains modern keberadaan manusia secara tidak langsung pun semakin teralienasi, hal ini diindikasikan oleh ironi kehidupan yang tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Kalau kita menyadari, manusia modern dengan segudang keunggulan teknologi yang dimiliki juga memberikan kontribusi terhadap munculnya dehumanisasi (menjadikan manusia sebagai objek kajian eksperimen yang bisa dikendalikan untuk kepentingan apa saja, termasuk pengembangan ilmu pengetahuan).

Apakah akal logis bisa menerima asumsi bahwa perilaku anarkis Hitler yang membunuh jutaan umat manusia sebagai perilaku sederhana yang digerakkan oleh motif pencarian kenikmatan (Freud), atau merestui tindakan otoriter George Bush yang melanggar Hak Asasi Manusia sebagai aktifitas lumrah yang digerakkan oleh motif pencarian menuju superioritas (Adler)[2], bukankah hal ini juga termasuk simptom (gejala) neurotis (sakit jiwa)?

Kita juga tidak bersedia disetarakan dengan tikus yang bereaksi terhadap segala sesuatu ketika diberi stimulus (Pavlov, Watson)? Tentunya akan membela bahwa terdapat naluri untuk bebas dengan pola pikir produktif yang inklusif, beda halnya dengan hewan yang hanya memiliki insting. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kejeniusan para psikolog terdahulu, hal ini perlu diungkapkan agar kita tidak terilusikan oleh dinamika ilmu psikologi yang terlalu saintifik. Semakin hari pun bermunculan jenis gangguan jiwa yang kalau ditelusuri banyak keganjilan tetapi seakan-akan obyektif, padahal kalau dipahami lebih kritis tidak semuanya hasil dari eksperimen ilmu melainkan konstruksi sosial.

Psikologi, yang masuk dalam wilayah keilmuan sosial seharusnya bisa memberikan kebijakan arif tentang misteri persoalan yang dihadapi manusia, bukan semakin memperkeruh keterombang-ambingan batin individu dengan teori-teori yang sudah dinilai mapan dan empiris. Gelombang pemikiran masa lalu yang menitikberatkan pada kajian ilmu syaraf (neuroscience) an sich sudah bukan saatnya lagi didewakan, sekarang saatnya melihat kenyataan bahwa beribu tangis yang kita dengar di muka bumi rata-rata disebabkan kekeringan nilai spiritual.

B. Melamar Agama dengan Psikologi

Kalangan filsuf dan psikolog dari zaman ke zaman sering berusaha menjawab pertanyaan mendasar dan abadi manusia: Siapa aku? Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Apakah kebenaran itu? Apakah keindahan itu? Adakah kehidupan sesudah kematian? Bagaimana saya dapat menemukan kedamaian? Siapa atau bagaimana Tuhan itu? Karena pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas bukan menjadi fokus kajian psikologi Barat, maka janganlah bermimpi untuk menemukan jawabannya.

Selama ini proses-proses psikologis “tertinggi” di Barat belum terpasang secara anggun menjadi keilmuan yang holistik, sebab persoalan manusia terlalu banyak diidentifikasi melalui dinamika mesin yang tidak terlalu memenuhi untuk dikategorikan keilmuan andal. Sebagai perbandingan, keberadaan mesin cuci dapat digunakan secara otomatis dan rumit untuk melakukan tugas mencuci pakaian dengan baik. Tetapi, mesin cuci hanya dapat melakukan itu saja, jika salah satunya adalah martil; mesin akan memperlakukan segala sesuatu layaknya pakaian.

Pendeknya, apakah dinamika keilmuan psikologi akan berhenti mencari solusi di tengah kultur budaya masyarakat yang begitu plural? Setidaknya manusia secara umum mempunyai dua pedoman hidup dalam berperilaku. Pertama, bagaimana manusia sempurna (insan kamil) bisa dibentuk? Kedua, bagaimana masyarakat sempurna bisa dibangun?[3]

Psikologi Barat modern juga belum memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, karena pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia tidak pernah dibahas dalam keilmuan ini. Kita tahu, perkembangan ilmu psikologi modern ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, ilmu psikologi harus bersifat universal. Artinya, ada beberapa prinsip umum dan juga hukum-hukum kemungkinan, yang bisa dijadikan tolok ukur pengembangan keilmuan. Misalnya studi mengenai persepsi, memori, dan pembelajaran harus mampu mengatasi telikungan faktor sosio-historis tertentu.

Kedua, berbasis pada metode empiris. Karena mengikuti pertimbangan rasional dari filsafat empiris logis, psikologi modern telah pula merasa terikat dengan suatu keyakinan mengenai kebenaran melalui metode. Khususnya, keyakinan bahwa dengan menggunakan metode empirik, dan terutama eksperimen terkontrol, peneliti bisa memperoleh kebenaran mutlak tentang hakikat masalah pokok dan jaringan-jaringan kausal di mana masalah pokok dibawa serta.

Ketiga, riset sebagai lokomotif kemajuan. Derivasi dari asumsi-asumsi teoritis terdahulu adalah keyakinan final kaum modernis, sebuah keyakinan terhadap sifat progresif riset. Karena metode empiris diterapkan dalam masalah pokok psikologi, psikolog belajar semakin banyak mengenai karakter dasar. Keyakinan yang salah dapat dihindari, dan psikolog beralih ke arah penegakan kebenaran nilai-nilai netral dan reliabel tentang berbagai segmen dunia yang obyektif.[4]
Pengaruh tiga pilar utama di atas sangat membekas hingga sekarang—memusatkan perhatian pada penggambaran perilaku, tanpa melihat perlunya menyelidiki asas-asas pokok yang melandasi dan menentukan perilaku manusia. Akibatnya, psikologi pun menjadi bidang garapan mereka yang mempelajari segmen-segmen perilaku manusia yang sempit dan bisa diukur.[5]

Untuk menjawab pelbagai mengapa itu, maka terdapat sumber gagasan yang selama ini jarang ditengok oleh kaum ilmuan Barat, yakni dimensi yang bermuatan spiritual. Adalah William James, dalam bukunya The Varieties of Religious Experience sebagai salah satu dari ilmuan yang mengkaji agama paling mendalam dan komprehensif, sangat memberikan inti inspirasi dalam pemusatan kajian ini; agama sebagai elan vital supervisi jiwa dan menempati posisi paling sentral dalam menentukan perilaku manusia.

Peralihan paradigma ke nalar agama tersebut memberikan sumbangsih berharga bagi kajian jiwa. Pada mulanya kodrat dasar jiwa seseorang adalah ‘kegelapan’. Manusia memang terlahir dalam keadaan suci, akan tetapi di dunia ini tidak ada kesucian yang luput dari intervensi (tidak otentik). Ketika jiwa tidak serta merta semuanya terlahir untuk kesucian di kemudian hari, maka ini persoalan mendasar yang perlu dibidik. Tentunya Tuhan melahirkan problem ilmiah ini dengan menciptakan obat yang dinilai efektif beserta derivasinya yang lebih positif, yaitu kebahagiaan dan kedamaian total dalam iman (agama).

Sikap netral yang dicontohkan oleh John Lock dengan teori tabularasa (empirisme) yang menjadi dalil kaum behavioris[6], termasuk hal yang tidak koheren dengan kategori keberagamaan James. Sebab ia mengabaikan fungsi jiwa manusia dan menganggap bayi terlahir dalam kondisi putih (kosong). Padahal dalam realitas yang berkembang bayi mempunyai potensi alamiah masing-masing dan tertanam sejak awal. Walaupun faktor eksternal memang mempengaruhi terhadap perkembangan individu, namun manusia bukanlah benda kaku yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri.

Sedangkan pengalaman keberagamaan yang dimaksud oleh James, merupakan keberagamaan individual dan bukan keberagamaan institusional; pengalaman tertinggi yang menitikberatkan aspek nilai spiritual—kalau boleh saya membahasakan—“keteduhan ruhaniah”. Jiwa yang seringkali gelisah akan merasa tenang dan sejuk jika diterangi dengan cahaya spiritual, seperti halnya ketika kita bercucuran keringat kelelahan dan duduk di bawah pohon rindang sambil lalu terhempas oleh hembusan halus angin. Jadi, agama menurut James adalah:

Segala perasaan, tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apa pun yang mereka anggap sebagai yang ilahiah.”[7]

Lebih jauh James memandang bahwa dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari sistem kepercayaan akan adanya ketertiban tak terlihat dan keinginan kita untuk hidup serasi dengan ketertiban ini. Dunia—yang terlihat menurut pandangan agama bergantung pada ketertiban tak terlihat. Hubungan manusia dengan realitas yang tak terlihat, agama, mempunyai efek pada kehidupan individual. Ia akan mengaktifkan “energi spiritual” dan menggerakkan karya “spiritual”. Agama menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaaan tenteram dan damai. Cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya. Tanpa mengabaikan rasa takut atau rasa sedih dalam kehidupan beragama, James lebih banyak melihat agama sebagai sumber kebahagiaan.[8]

Psikologi dewasa ini jarang mementingkan fokus kajiannya pada aspek kebahagiaan manusia yang sesungguhnya dan seutuhnya, kebanyakan psikologi terlalu dininabobokkan hanya oleh satu topik, yaitu penyakit mental, dan psikologi sudah cukup bisa menanganinya. Para psikolog secara akurat memang bisa diandalkan dalam memahami konsep-konsep yang dahulu kabur, seperti depresi dan skizofrenia. Namun sekarang, bermunculan gejala-gejala gangguan lain sepanjang perjalanan hidup umat manusia dan tidak musnah kecuali menanggulanginya dengan pembersihan jiwa. Karena pada dasarnya manusia menginginkan kehidupan yang bermakna, bukan kegelisahan dan kesembuhan melainkan mereka lebih memandang “kehidupan yang baik”.

Oleh karena itu, dengan berbagai alasan di atas agama pantas disandingkan dengan psikologi. Selama ini disadari bahwa kesalahan terbesar kaum psikolog terdahulu adalah tidak melibatkan agama dalam setiap terapinya. Rata-rata “mainstrem” psikolog dan psikiatri memusuhi agama dan dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental.

Belakangan ini, bermunculan analisis dari kaum psikolog untuk melirik agama sebagai hal yang paling berharga dalam kajian psikologi. Salah satunya adalah William James sendiri yang memandang agama sebagai jalan menuju keunggulan manusia, dan Carl Gustav Jung yang menyatakan agama sebagai jalan menuju keutuhan. Akan tetapi, porsi koherensi ini belum bisa diterima secara utuh oleh beberapa kalangan, mengingat saat ini keunggulan ilmu pengetahuan masih di atas angin. Terlebih, masih sulit merubah paradigma keilmuan seseorang yang diyakini dengan orientasi kemapanan dibandingkan membelok keimanan seseorang.

C. Psikologi Agama sebagai Disiplin Ilmu

Melakukan tugas pencarian ilmu secara lebih mendalam memang menjadi tantangan bagi para ilmuan dan kaum intelektual. Pemikiran keilmuan yang ada tidak sejatinya lahir taken for granted, akan tetapi senantiasa dikaji, dikritisi, diverifikasi, sehingga memunculkan temuan-temuan baru yang sekiranya lebih mencerahkan bagi peradaban umat manusia. Dunia sains, terutama sains-sosial telah menunjukkan taringnya dengan menghasilkan produk keilmuan yang kontributif bagi masyarakat terutama di era post-modern.

Namun di balik itu, ada beberapa aspek yang tidak dipahami oleh pelaku perkembangan keilmuan dewasa ini, tidak seharusnya ilmu pengetahuan dihadapkan pada hal-hal yang berbau mekanistik-materialistik dan terlalu asyik dalam beroperasi. Nilai-nilai inklusifitas perlu dibangun agar tidak terjadi korupsi ilmu pengetahuan yang berakibat fatal pada runtuhnya singgasana moralitas. Evaluasi terhadap ilmu senantiasa ditegakkan dengan kajian-kajian yang transformatif dan bernilai. Sebab dengan latar belakang historis yang berbeda, masyarakat beragama secara umum sama sekali belum sepakat dengan keilmuan yang bebas nilai[9] dan cenderung profan.

Psikologi dinilai sebagai disiplin ilmu otonom yang menginduk pada filsafat, dituntut membangun kerangka teoritik yang lebih holistik dengan menggandeng agama sebagai landasan kajian keilmuan. Di samping filsafat, agama juga merupakan wilayah yang mengagungkan aspek nilai terutama nilai-nilai ilahiah (teosentris) menuju nilai-nilai antroposentris (dimensi insaniah). Apabila hal ini dipertemukan dan menjadi satu bentuk disiplin keilmuan, tentunya akan memberikan sumbangan yang cukup urgen bagi problem pembentukan jiwa manusia (perkembangan mental positif manusia yang religius).

Disiplin keilmuan integralistik ini memang memerlukan proses pengkajian yang terus-menerus dan harus berimbang, tanpa mengabaikan jejak psikologi modern yang sudah terbentuk. Tugas besarnya adalah mengupayakan masuknya kontribusi pemahaman baru yang belum dimiliki dalam kajian psikologi konvensional. Jika pada awal-awal kemunculan perhatian psikologi pada proses mental yang terjadi pada jiwa manusia, maka kemudian pandangan tersebut janganlah sampai terlalu mendominasi.

Dalam berbagai perkembangan sebelumnya, terungkap bahwa gejala jiwa manusia tidak sama pada manusia yang berbeda usia. Gejala jiwa yang melatarbelakangi aktifitas, sikap dan tingkah laku anak-anak berbeda dengan anak remaja, serta terdapat perbedaan antara remaja dengan orang dewasa maupun orang yang sudah lanjut usia. Kenyataan ini mendorong ahli psikologi untuk mengembangkan cabang-cabang ilmu psikologi yang dapat digunakan untuk mempelajari gejala-gejala jiwa pada usia tertentu. Dari sini timbul ilmu-ilmu cabang psikologi seperti psikologi anak, remaja, dan orang tua.

Selajutnya dalam kajian psikologi juga dijumpai berbagai perbedaan antara manusia yang sudah berbudaya tinggi (berperadaban) dengan manusia yang masih hidup secara sederhana (primitif), maka muncul psikologi primitif sebagai cabang berikutnya. Kemudian dalam kaitannya dengan kondisi mental ternyata manusia juga berbeda, sehingga untuk mempelajarinya diperlukan adanya psikologi khusus. Maka muncullah psikologi abnormal dan para psikologi.

Memang agak berbeda dari proses awal kelahirannya, agama mulai menjadi perhatian kaum psikolog di tengah problem kejiwaan yang tidak kunjung selesai. Layaknya cabang psikologi, seperti psikologi anak, psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, psikologi agama dinilai sebagai ilmu terapan yang lebih komprehensif dan fungsional. Tidak berlebihan jika Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa psikologi sekarang lebih rendah hati untuk membuka diri pada agama.[10]

Namun apakah integrasi keilmuan ini akan efektif? Bagaimana jika di dalamnya bermunculan penafsiran agama konstitusional yang dikhawatirkan oleh William James? Tidakkah kemudian akan melahirkan bias orientasi kajian dan segmentasi operasional?

Sebelumnya perlu diketahui motif munculnya psikologi agama. Psikologi agama merupakan selebrasi kaum psikolog yang pro terhadap adanya ‘dimensi transendental’ pengatur bumi ini. Menurut mereka, sumber kegelisahan terbesar adalah karena sikap keegoisan manusia dengan tidak meyakini adanya realitas paling substansial di jagat raya. Pelbagai kerangka pemikiran yang progresif pun dibangun beraltarkan nilai-nilai yang terkodifikasi baik secara tertulis ataupun ternetralisasi dalam benak penganut pemeluk setiap agama.

Keberadaan teori psikologi Barat yang dominan saat ini masih bersifat kasat mata, dan diobjektifkan lewat eksperimen-eksperimen ilmiah yang terukur. Secara landasan akademis hampir mutlak bisa dipertanggungjawabkan. Namun kalau kita menelisik ulang terhadap awal kemunculannya, taruhlah Freud dan Jung yang mendapatkan berbagai gelar ijazah kedokteran dan membuka praktek psikoterapi kebanyakan keahliannya tidak diperoleh dari bangku akademik. Banyak di antara metode dan praktek yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah yang dimapankan oleh lingkungan akademik. Problem ini bukan menjadikan ilmu psikologi konvensional dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus-diskursus yang lain.

Perumusan psikologi agama yang dirintis di Indonesia dan berbagai belahan negara yang lain, kerangka berpikirnya (mode of thought) haruslah bersifat inklusif. Belajar dari kelemahan psikologi Barat yang eksklusif, rumusan gagasannya selalu mengandung bias-bias ketika kita memakainya untuk menganalisis permasalahan dalam konteks budaya masyarakat yang berbeda.

Kedua, apa yang diajarkan oleh Freud dengan kegelisahan pada problem kepribadian dirinya dan masyarakat bisa kita petik hikmahnya, yakni kita tidak perlu berpijak mutlak pada doktrin keilmuan yang statis dalam ranah tertentu, dalam ranah yang lain masih ada ijtihad ilmiah dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang substansial. Tujuannya, agar konsep psikologi agama yang kian menggurita dewasa ini tidak tergerus pada latah teoritik, akan tetapi lebih menekankan aspek aplikasinya. Barangkali William James akan tersenyum simpul melihat gagasannya diverifikasi kembali oleh ilmuan-ilmuan setelahnya, dengan tidak terjebak pada ranah institusional.

D. Akar Lokalitas Psikologi Islami dan Pesan Universal

Secara sederhana psikologi Islam bisa dipahami sebagai kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[11]

Psikologi Islam, sebagai regulasi dari psikologi agama memang baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih pada pendekatan yang bersifat spekulatif, membicarakan hakekat mental dan kehidupannya sekaligus menggunakan konsep yang deduktif (Al-Quran dan Al-Sunah). Diperkokoh dari hasil renungan pemikiran para filosof atau sufi klasik, walaupun belum banyak menyentuh pada wilayah yang empiris.

Hal ini menjadi tugas berat bagi psikologi Islam untuk membangun kajian yang utuh, mengingat psikologi yang sudah lama berpisah dari filsafat lebih menekankan pada aspek empiris. Untungnya Islam memiliki nilai-nilai universal yang bisa dijadikan modalitas utama untuk mengembangkan kerangka konseptual yang lebih mapan dan unik dibandingkan konsep psikologi kontemporer Barat. Secara ontologis, Islam memiliki pemahaman tentang hakekat jiwa. Dalam wilayah epistemologis, Islam secara terperinci menyebutkan bagaimana cara mempelajari jiwa. Dan secara aksiologis, Islam banyak menekankan tujuan mempelajari jiwa. Ketiga modalitas ini terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadis, dan ditafsirkan secara filosofis oleh berbagai ilmuan dan filosof Islam dari zaman klasik hingga sekarang.

Sedangkan munculnya embel-embel ‘islam’ dalam pelbagai diskursus keilmuan dewasa ini, termasuk psikologi senyatanya tidak terlepas dari munculnya gagasan islamisasi ilmu. Jika ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya di sekitar abad 8-15 masehi. Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius oleh para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh pasukan Jenghis Khan, saat itulah mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku, kemudian dibakar dan dilarung ke sungai Tigris. Selain itu juga, persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan Islam tersebut ikut andil mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan keilmuan yang gongnya adalah terjadinya revolusi industri[12] pada abad ke-17.

Leif Stenberg dalam bukunya The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing an Islamic Modernity (1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus hubungan sains dan Islam adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun 1883 di Paris yang kemudian direspon pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1897). Menurut Renan antara Islam dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat itu kemudian perdebatan ini menjadi begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua puluh.

Sorotan yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut sebagai eksponen dalam usaha islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh Stenberg dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan sains dan Islam.

Al-Faruqi dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge). Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman dengan nama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi islamisasi dengan langkah-langkah yang dibuatnya. Yang menarik dari gagasan Faruqi adalah bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup komprehensif antara khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of modern and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah integralisasi keduanya. Ini ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan ilmu dengan perspektif Islam dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan modern yang ada. Dari situlah kemudian akan menghasilkan model kurikulum dan pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah yang menjadi ultimate goal gagasan islamisasi pengetahuan ala Faruqi.

Islamisasi pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah kerja ilmiah dari sudut pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai ideologi atau bahkan sebuah sekte baru. Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau tidak, orang yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang biak.[13]

Sementara ‘Imad al Din Khalil memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan dalam pencarian intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian (examination), penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup, manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara pencapaian ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat filosofis, sehingga ilmu itu dapat digunakan melalui metodologi yang bernuansakan religius tinimbang yang spekulatif.

Sementara Sardar menekankan penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka sains atau pengetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.

Secara umum, menurut Stenberg, keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini memiliki kesamaan gagasan dalam melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam, menurut mereka, sama sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak teraplikasikannya konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.

Diharapkan kajian psikologi Islam memposisikan diri secara moderat dan orientasinya jelas, agar pesan universal agama dapat benar-benar tersampaikan dan memberikan sumbangan nyata bagi perkembangan keilmuan psikologi ke depan. Sikap Impartility (ketidakberpihakan) ini, sangat dibutuhkan agar tidak ada sekat pembatas antara “psikologi” dan “islam”.

Selain itu, berbagai kesan terpisah dalam penetapan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi ataupun di lembaga pembelajaran lainnya tidak terjadi. Karena keduanya bukan dua term berbeda secara radikal dan eksternal dapat dipisahkan, melainkan menyatu atau yang biasa disebut monograf perbandingan. Ketegangan fakta-fakta yang diperoleh secara ilmiah dan interpretasi (tafsir) haruslah mengidealkan koherensi, setidaknya dapat menghilangkan konflik metodologis yang belum usai. Tentunya hal ini bisa diharapkan jika Islam bisa mengetengahkan ide-ide kreatif berlandaskan sikap yang objektif. [14]

Relevansinya dengan ide relasi sains dan Islam adalah bahwa tetap mengedepankan objektifitas dalam melangkah, meskipun ada simbol agama di situ. Dan pemikiran ini menurut saya perlu menjadi titik perhatian dalam pengembangan psikologi Islam selanjutnya. Pengembangan pengetahuan dalam Islam tidaklah memandang bahwa pengetahuan di luar Islam sebagai musuh yang harus dibasmi; “psikologi sebagai psikologi”, “Islam sebagai Islam”, dan Islam untuk psikologi begitu pula sebaliknya.

E. Pemahaman Holistik-Aplikatif dalam Psikologi Islam

Pergulatan dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak untuk kasus Indonesia ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.

Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersentuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.

Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam (turats Islam) dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN/UIN yang memiliki kecenderungan semacam ini.

Dalam kajian-kajian psikologi, turats Islam yang berupa manuskrip tulisan dari cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik yang berupa konsep yang masih potensi maupun yang manifest. Misalnya, konsep perkembangan moral dan rasio seseorang bisa dibaca dalam karya klasik Ibn Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-konsep umum mengenai nafs, qalb, atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-Ghazali, Ibn Miskwaih, Ibnul Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi yang pernah dibahas oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang analisis mimpi.

Dua model pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun kelemahan-kelemahan fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada pendekatan modern kemudian melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah bukan muncul suatu ilmu, melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok (labeling). Apabila ini yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.

Psikologi seharusnya berangkat dari persoalan-persoalan mendasar sebagaimana karekteristik filsafat. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam bisa saja memverifikasi teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia.

Demikian juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.

Dalam buku The Islamization of Knowledge, Ismail Al Faruqi mengusulkan agar mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan modern. Proyek ini dilestarikan oleh sejumlah perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, Universitas Islam Antar Bangsa (International Islamic University) Malaysia mewajibkan setiap mahasiswa strata satu (program sarjana), strata dua (program master), hingga strata tiga (program doktor) untuk mengambil mata kuliah yang namanya The Islamization of Knowledge.

Gagasan yang sarat nilai Islam ini mendapat tanggapan yang luas dari ilmuwan Islam. Hal ini terbukti dengan makin maraknya wacana ekonomi Islam, psikologi Islam, hukum Islam, Ilmu Politik Islam, dan sebagainya. Namun, sebagian ilmuwan Islam tidak menyetujui konsep Islamisasi pengetauan yang ditawarkan Al Faruqi dan kawan-kawannya itu. Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Sains mengungkapkan pendapat yang menunjukkan dirinya adalah salah seorang yang tidak menyetujui gerakan Islamisasi pengetahuan model Al Faruqi. Salah satu kritik Kuntowijoyo adalah masih menggunakan paradigma Barat. Gerakan Islamisasi ilmu masih terjebak dalam kerangka keilmuan Barat.

Refleksi yang ditekankan kemudian, para peserta didik dan pengelola kurikulum pada persoalan pelbagai macam diskursus di atas, yang penting ada keberanian untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut dalam wilayah operasional agar mendapatkan pemahaman yang holistik.[15] Ia seharusnya masuk ke hal-hal yang paling mendasar terlebih dahulu. Sebagai contoh, saat ini sedang tren kajian near death experience dalam kancah psikologi Barat. Padahal, dalam pengalaman keislaman fenomena yang menyangkut sakaratul maut merupakan fenomena yang tidak asing. Hanya saja, cara pandangnya jelas berbeda bahkan jauh berbeda. Perbedaan itu sangat mendasar yakni menyangkut bagaimana memandang kehidupan ini, seperti pandangan menyangkut takdir dan kehidupan pasca kematian (dimensi eskatologis) dimana hal-hal semacam ini masih tabu dalam kajian psikologi barat. 

Oleh sebab itu, ke depan, nuansa kajian psikologi Islam sejatinya berangkat dari landasan yang komprehensif dan mendasar baik itu menyangkut epistemologis, aksiologis, maupun ontologis. Islam sendiri sudah memiliki modalitas yang luar biasa, yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta karya-karya ulama klasik. Patut disayangkan apabila kajian-kajian yang dilakukan hanya pada tataran permukaaan (menggabung-gabungkan nilai-nilai Islam dengan psikologi secara artifisial). Karena kalau tidak, psikologi Islam akan terjebak pada simplifikasi nilai pada dua rumpun sekaligus yaitu psikologi dan Islam serta kemudian harapan untuk menjadi disiplin keilmuan yang mapan menjadi angan tak berkesudahan.

F.  Penutup

Psikologi Islam pada dasarnya merupakan upaya untuk mengartikulasikan interpretasi tentang psikologi perspektif Islam. Sebab itu, sebagian kaum ilmuan muslim merasa gelisah terhadap perkembangan psikologi yang belum banyak menyentuh pada aspek keikutsertaan Tuhan dalam perilaku-perilaku manusia. Dan belum adanya penilaian objektif dan adil dari kalangan ilmuan Barat, yang saat ini memegang titik kunci peradaban ilmu sains dan sosial terhadap peran agama sebagai elemen yang penting bagi kehidupan manusia.

Sejatinya, psikologi Islam bisa memberikan sumbangsih nyata bagi produk keilmuan psikologi modern bahkan lebih solutif asalkan tidak terjebak pada kajian-kajian normatif yang menjadi anteseden dalam menentukan prospek keilmuan. Harapannya, ada pengembangan riset yang serius dan kajian ide-ide kreatif baru yang intens dilakukan agar bisa dijadikan tolok ukur keilmuan yang benar-benar memadai ketika dihadapkan dengan problem masyarakat modern yang semakin kompleks.


*Oleh Nuzulul Khair. Disampaikan pada panel akbar Psikologi Ilmu Fakultas Ilmu Sosial dan HUmaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008




[1] Sigmund Freud adalah bapak psikoterapi, tetapi ia juga tokoh ateisme terbesar pada awal abad ke-20. Freud sangat yakin bahwa psikoanalisis merupakan alat pembasmi agama yang paling utama, ia pun memperkokoh argumennya dengan menulis buku The Future of an Illusion, agama hanyalah sebatas ilusi. Selanjutnya lihat Biografi lengkap Freud di Ernest Jones, Dunia Freud: The Life and Work of Sigmund Freud, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), halaman 26.  
[2] Seorang dokter penyakit dalam yang kemudian menjadi psikolog terkenal dengan teori psikologi individual. Pikiran dan perumusan Adler mengenai perasaan-perasaan rendah diri (inferior) dan upaya kompensatoris untuk mendapatkan kekuasaan sebagai faktor dasar dalam perkembangan pribadi. Sekitar tahun 1900, Adler mempelajari simptom-simptom psikopatologi dalam kedokteran umum. Lihat di Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia (Jakarta: Grasindo, 2004), halaman 4.
[3] Hazrat Pir, “Peace” dalam Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf: Sebuah Upaya Spiritualisasi Psikologi, (Jakarta: Serambi, 2003), halaman 7.
[4]  Steinar Kvale (ed.), Psikologi dan Posmodernisme ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), halaman 34-35.
[5] Pernyataan ini, misalnya juga dikemukan oleh Lynn Wilcox. Menurutnya, kendati ribuan psikolog, konselor, pekerja sosial, dan psikiater berusaha keras membantu mereka, psikologi Barat modern belum mampu mengajarkan manusia bagaimana mewujudkan kebiasaan positif secara mendasar dan permanen. Psikologi Barat selama ini juga belum dapat menunjukkan bagaimana orang bisa hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Walaupun Abraham Maslow, yang mendekati ideal—diri yang teraktualisasi, manusia yang berperan sepenuhnya. Namun, para psikolog juga belum dapat menunjukkan cara yang memungkinkan orang mencapai atau berperan pada tingkat-tingkat ini atau pada tataran yang lebih tinggi. Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa…, halaman 8.
[6] Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang memandang bahwa ketika dilahirkan pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia mutlak akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya. Beberapa tokoh aliran ini di antaranya, Ivan Pavlov, B. F. Skinner, dan John B. Watson. Lihat Calvin S. Hall dan Cardner Lindzey, Theories of Personality, dialihbahasakan olehYustinus (Yogyakarta: Kanisius, 1993), halaman 9. 
[7] William James, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature, dialih bahasakan oleh Gunawan Admiranto (Bandung: Mizan, 2004) halaman 42.
[8] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama (Bandung: Mizan, 2003), halaman 208.
[9] Paham “bebas nilai” (value free) dijunjung tinggi oleh para ilmuan ketika usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai objektifitas maksimal. Bagi mereka paham “bebas nilai” ini diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai bias dan unsur tidak memihak. Namun demikian, paham “bebas nilai” tersebut banyak disangkal oleh beberapa keilmuan kontemporer, termasuk di dalamnya para pemikir muslim. Kelompok kedua ini mulai menemukan momentumnya ketika objektifitas ilmiah mulai disangkal, karena upaya ilmiah seringkali dilakukan dalam kerangka tujuan tertentu. Di Indonesia, pemikiran yang cukup kritis muncul dalam karya F. Budi Hardiman, Kritis Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996
[10] Asumsi ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koenig (1999) dalam bukunya The Healing Power of Faith, bahwa keluarga yang religius pada umumnya (1) punya keluarga yang lebih bahagia, (2) punya gaya hidup yang lebih sehat, (3) dapat mengatasi stres, (4) hidup lebih lama dan lebih sehat, (5) terlindung dari penyakit kardiovaskular, (6) punya sistem imun yang lebih kuat, dan (7) lebih sedikit menggunakan jasa rumah sakit. Jika agama terbukti menyehatkan secara fisik dan mental, psikoterapis yang selama ini mengabaikan agama akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama. Lihat di Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama…, halaman 199.
[11] Dirangkum dari pemikiran Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, dalam pengantar buku Psikologi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan VI Desember 2005), halaman v.
[12] Revolusi industri bukanlah suatu proses yang terjadi secara mendadak. Melainkan melalui proses sejarah yang terjadi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan; perubahan yang cepat dibidang ekonomi yaitu dari kegiatan ekonomi agraris ke ekonomi industri yang menggunakan mesin dalam mengelola bahan mentah menjadi bahan siap pakai. Revolusi telah mengubah cara kerja manusia dari penggunaan tangan menjadi penggunaan mesin. Revolusi industri juga ditandai dengan akibat-akibat yang revolusioner dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Salah satu penemuannya yang pertama kali adalah mesin uap oleh James Watt (dipatenkan tahun 1796. Gunawan, “Revolusi Industri” dalam www. E-dukasi.net, diakses tanggal 4 Mei 2008.
[13] Huzni Thoyyar, “Model-model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam”, dalam www.yusdani.com, diakses tanggal 4 Mei 2008.
[14] Kuntowijoyo, misalnya. Beliau menggunakan istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah ini digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat perkembangan politik aliran di Indonesia. Menurutnya objektifikasi adalah memandang sesuatu secara objektif dan disebutnya sebagai jalan tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran pemikiran keilmuan lainnya. Ada tiga hal yang digunakannya dalam melihat objektifikasi Islam ini yaitu (1) artikulasi pemahaman hendaknya melalui kategori-kategori objektif, (2) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang objektif, dan (3) tidak berpikir kawan-lawan, melainkan pada permasalahan bersama. Hal ini lebih lanjut bisa dilihat dibukunya Pak Kunto, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005). Buku ini memberikan inspirasi pada kajian Islam Kontekstual.   
[15]Secara substansial pemahaman holistik menekankan pada nilai-nilai kreatif dan kompetitif tidak hanya sebatas pengertian integral. Kedua dilanjutkan dengan perluasan khowledge base baik pada tingkatan individu ataupun kelompok. Hal ini berarti adanya budaya yang menghargai dan mendukung kreatifitas dan di sisi lain perhatian pada pengembangan sarana operasional. Rachmadi Bagus Triono, “manajemen SDM Holistik: Jalan Menuju Perolehan Competitive Adventage”, dalam www.lmfeui.com, diakses tanggal 15 April 2009



 Daftar Rujukan


A Partanto, Pius dan Al-Barry, Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Arkola: Surabaya, 1994
Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Fuad Nashori. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kelima. 2004.
Ep. Seligman, Martin. Anthentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. Mizan: Bandung, 2005
Jalaluddin. Psikologi Agama. Rajawali Press: Cetakan keenam. 2002
James, William. The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Edisi Indonesia. Mizan: Bandung, 2004.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung, 1991
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu. TiaraWacana: Yogyakarta, 2006
Kvale, steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006
Mutthari, Murtadha. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Mizan: Bandung, 1992
Naisaban, Ladislaus. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya. Grasindo: Jakarta, 2004
Najati, M. Utsman. Alquran dan Ilmu Jiwa. Pustaka: Bandung, 1985
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. UI: Jakarta, 1982
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Mizan: Bandung, 2003
Sardar, Ziauddin. Masa Depan Islam. Pustaka Salman: Bandung, 1986
S.Hall, Calvin dan Lindzey, Gardner. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Kanisius: Yogyakarta, 1993
S.Hall, Calvin dan Lindzey, Gardner. Teori-teori Sifat dan Psikodinamik. Kanisius: Yogyakarta, 1993
Wilcox, Lynn. Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf. Serambi: Jakarta, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar