Intisari
Artikel ini ditulis
dengan tujuan untuk memaparkan tantangan dan prospek psikologi dalam dunia akademik terutama lembaga yang concern
dalam kajian ilmu keislaman baik organisasi ataupun lembaga pendidikan secara
umum. Sekaligus
menyoroti kecakapan-kecakapan psikologi
Barat yang telah diberikan kepada mahasiswa Jurusan Psikologi UIN Sunan
Kalijaga dalam pelbagai diskusi kampus pada khusunya, dan untuk Perguruan Tinggi Islam yang lain. Penulis kemudian
berusaha melihat kesesuaian antara kebutuhan pendekatan keislaman dalam dunia
keilmuan psikologi tersebut dengan tetap memahami kerangka teoretik psikologi
kontemporer. Pada akhirnya, penulis berusaha menawarkan wacana alternatif yang dapat dilakukan
untuk menambah keseriusan pengembangan keilmuan, yaitu sumbangsih diskursus secara
implisit di dalam proses pengembangan keilmuan yang integralistik.
A. Pendahuluan
Keberadaan agama bagi umat
manusia bukanlah sekadar
rutinitas sakral yang menuntut untuk dikultuskan. Di dalamnya terkandung hikmah universal yang
bisa dihayati
secara lebih eksplisit terkait
dengan problem sosial berikut pemecahannya. Saat ini, keberagamaan seseorang di tengah modernitas
belum menyentuh pada kesadaran total yang berimbang antara keyakinan dan
pengaplikasiannya, bahkan seringkali ditemukan reduksi keyakinan dan
disorientasi iman yang tidak disadari ataupun secara sengaja memicu lahirnya
kekacauan hidup. Sikap ini bisa memunculkan penyakit psikis baik individual
ataupun sosial, terlebih lagi kaum yang tidak beragama hampir dipastikan kondisinya
lebih miris.
Meminjam bahasa Jalaluddin
Rakhmat dalam bukunya: Psikologi Agama (2003), ia menulis seperti ini tentang
agama sekarang:
“Agama adalah kenyataan terdekat dan
sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan
kita sehari-hari—di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu
misterius: ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan—memotivasi
kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu
tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi; menciptakan gerakan massa
paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan
perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.”
Menurutnya, ada semacam
ketidakjelasan orientasi keberagamaan yang seharusnya dimiliki oleh
masing-masing individu, kelompok, ataupun penganut agama secara umum. Padahal
agama merupakan ultimate concern, kebutuhan tertinggi umat manusia
selama hidup di dunia maupun di akhirat. Muatan agama begitu kompleks dan
sangat transenden, tugas manusia adalah memaksimalkan potensi petunjuk yang
telah disediakan oleh Tuhan tersebut untuk kepentingan aktifitas di muka bumi
yang fana. Kehadirannya tidak untuk memperumit bahkan sumber ketenangan jiwa
dan solusi atas pelbagai persolan. Agama bukanlah fenomena pemuas kebutuhan
kekanak-kanakan seperti halnya yang diungkapkan oleh Sigmund Freud.[1]
Di balik kecanggihan sains modern keberadaan manusia secara tidak langsung pun semakin teralienasi, hal ini diindikasikan oleh ironi kehidupan yang tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Kalau kita menyadari, manusia modern dengan segudang keunggulan teknologi yang dimiliki juga memberikan kontribusi terhadap munculnya dehumanisasi (menjadikan manusia sebagai objek kajian eksperimen yang bisa dikendalikan untuk kepentingan apa saja, termasuk pengembangan ilmu pengetahuan).
Apakah akal logis bisa menerima
asumsi bahwa perilaku anarkis Hitler yang membunuh jutaan umat manusia sebagai
perilaku sederhana yang digerakkan oleh motif pencarian kenikmatan (Freud),
atau merestui tindakan otoriter George Bush yang melanggar Hak Asasi Manusia
sebagai aktifitas lumrah yang digerakkan oleh motif pencarian menuju
superioritas (Adler)[2],
bukankah hal ini juga termasuk simptom
(gejala) neurotis (sakit jiwa)?
Kita juga tidak bersedia
disetarakan dengan tikus yang bereaksi terhadap segala sesuatu ketika diberi
stimulus (Pavlov, Watson)? Tentunya akan membela bahwa terdapat naluri untuk
bebas dengan pola pikir produktif yang inklusif, beda halnya dengan hewan yang
hanya memiliki insting. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kejeniusan para
psikolog terdahulu, hal ini perlu diungkapkan agar kita tidak terilusikan oleh
dinamika ilmu psikologi yang terlalu saintifik. Semakin hari pun bermunculan
jenis gangguan jiwa yang kalau ditelusuri banyak keganjilan tetapi seakan-akan
obyektif, padahal kalau dipahami lebih kritis tidak semuanya hasil dari
eksperimen ilmu melainkan konstruksi sosial.
Psikologi, yang masuk dalam
wilayah keilmuan sosial seharusnya bisa memberikan kebijakan arif tentang
misteri persoalan yang dihadapi manusia, bukan semakin memperkeruh
keterombang-ambingan batin individu dengan teori-teori yang sudah dinilai mapan
dan empiris. Gelombang pemikiran masa lalu yang menitikberatkan pada kajian
ilmu syaraf (neuroscience) an sich sudah bukan saatnya lagi didewakan,
sekarang saatnya melihat kenyataan bahwa beribu tangis yang kita dengar di muka
bumi rata-rata disebabkan kekeringan nilai spiritual.
B. Melamar Agama dengan
Psikologi
Kalangan filsuf dan psikolog dari
zaman ke zaman sering berusaha menjawab pertanyaan mendasar dan abadi manusia:
Siapa aku? Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Apakah kebenaran itu? Apakah
keindahan itu? Adakah kehidupan sesudah kematian? Bagaimana saya dapat
menemukan kedamaian? Siapa atau bagaimana Tuhan itu? Karena
pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas bukan menjadi fokus kajian psikologi
Barat, maka janganlah bermimpi untuk menemukan jawabannya.
Selama ini proses-proses
psikologis “tertinggi” di Barat belum terpasang secara anggun menjadi keilmuan
yang holistik, sebab persoalan manusia terlalu banyak diidentifikasi melalui
dinamika mesin yang tidak terlalu memenuhi untuk dikategorikan keilmuan andal.
Sebagai perbandingan, keberadaan mesin cuci dapat digunakan secara otomatis dan
rumit untuk melakukan tugas mencuci pakaian dengan baik. Tetapi, mesin cuci hanya
dapat melakukan itu saja, jika salah satunya adalah martil; mesin akan
memperlakukan segala sesuatu layaknya pakaian.
Pendeknya, apakah dinamika
keilmuan psikologi akan berhenti mencari solusi di tengah kultur budaya
masyarakat yang begitu plural? Setidaknya manusia secara umum mempunyai dua
pedoman hidup dalam berperilaku. Pertama, bagaimana manusia sempurna
(insan kamil) bisa dibentuk? Kedua, bagaimana masyarakat sempurna bisa
dibangun?[3]
Psikologi Barat modern juga belum
memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, karena pertanyaan mendasar
tentang eksistensi manusia tidak pernah dibahas dalam keilmuan ini. Kita tahu,
perkembangan ilmu psikologi modern ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama,
ilmu psikologi harus bersifat universal. Artinya, ada beberapa prinsip umum dan
juga hukum-hukum kemungkinan, yang bisa dijadikan tolok ukur pengembangan
keilmuan. Misalnya studi mengenai persepsi, memori, dan pembelajaran harus
mampu mengatasi telikungan faktor sosio-historis tertentu.
Kedua, berbasis pada metode
empiris. Karena mengikuti pertimbangan rasional dari filsafat empiris logis,
psikologi modern telah pula merasa terikat dengan suatu keyakinan mengenai
kebenaran melalui metode. Khususnya, keyakinan bahwa dengan menggunakan metode
empirik, dan terutama eksperimen terkontrol, peneliti bisa memperoleh kebenaran
mutlak tentang hakikat masalah pokok dan jaringan-jaringan kausal di mana
masalah pokok dibawa serta.
Ketiga, riset sebagai lokomotif
kemajuan. Derivasi dari asumsi-asumsi teoritis terdahulu adalah keyakinan final
kaum modernis, sebuah keyakinan terhadap sifat progresif riset. Karena metode
empiris diterapkan dalam masalah pokok psikologi, psikolog belajar semakin
banyak mengenai karakter dasar. Keyakinan yang salah dapat dihindari, dan
psikolog beralih ke arah penegakan kebenaran nilai-nilai netral dan reliabel
tentang berbagai segmen dunia yang obyektif.[4]
Pengaruh tiga pilar utama di atas
sangat membekas hingga sekarang—memusatkan perhatian pada penggambaran
perilaku, tanpa melihat perlunya menyelidiki asas-asas pokok yang melandasi dan
menentukan perilaku manusia. Akibatnya, psikologi pun menjadi bidang garapan
mereka yang mempelajari segmen-segmen perilaku manusia yang sempit dan bisa
diukur.[5]
Untuk menjawab pelbagai mengapa
itu, maka terdapat sumber gagasan yang selama ini jarang ditengok oleh kaum
ilmuan Barat, yakni dimensi yang bermuatan spiritual. Adalah William James,
dalam bukunya The Varieties of Religious Experience sebagai salah satu
dari ilmuan yang mengkaji agama paling mendalam dan komprehensif, sangat memberikan
inti inspirasi dalam pemusatan kajian ini; agama sebagai elan vital supervisi
jiwa dan menempati posisi paling sentral dalam menentukan perilaku manusia.
Peralihan paradigma ke nalar
agama tersebut memberikan sumbangsih berharga bagi kajian jiwa. Pada mulanya
kodrat dasar jiwa seseorang adalah ‘kegelapan’. Manusia memang terlahir dalam
keadaan suci, akan tetapi di dunia ini tidak ada kesucian yang luput dari
intervensi (tidak otentik). Ketika jiwa tidak serta merta semuanya terlahir
untuk kesucian di kemudian hari, maka ini persoalan mendasar yang perlu
dibidik. Tentunya Tuhan melahirkan problem ilmiah ini dengan menciptakan obat
yang dinilai efektif beserta derivasinya yang lebih positif, yaitu kebahagiaan
dan kedamaian total dalam iman (agama).
Sikap netral yang dicontohkan
oleh John Lock dengan teori tabularasa (empirisme) yang menjadi dalil kaum
behavioris[6],
termasuk hal yang tidak koheren dengan kategori keberagamaan James. Sebab ia
mengabaikan fungsi jiwa manusia dan menganggap bayi terlahir dalam kondisi
putih (kosong). Padahal dalam realitas yang berkembang bayi mempunyai potensi
alamiah masing-masing dan tertanam sejak awal. Walaupun faktor eksternal memang
mempengaruhi terhadap perkembangan individu, namun manusia bukanlah benda kaku
yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri.
Sedangkan pengalaman keberagamaan
yang dimaksud oleh James, merupakan keberagamaan individual dan bukan
keberagamaan institusional; pengalaman tertinggi yang menitikberatkan aspek
nilai spiritual—kalau boleh saya membahasakan—“keteduhan ruhaniah”. Jiwa yang
seringkali gelisah akan merasa tenang dan sejuk jika diterangi dengan cahaya
spiritual, seperti halnya ketika kita bercucuran keringat kelelahan dan duduk
di bawah pohon rindang sambil lalu terhempas oleh hembusan halus angin. Jadi,
agama menurut James adalah:
“Segala perasaan, tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam
kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan
dengan apa pun yang mereka anggap sebagai yang ilahiah.”[7]
Lebih jauh James memandang bahwa
dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari sistem kepercayaan akan adanya
ketertiban tak terlihat dan keinginan kita untuk hidup serasi dengan ketertiban
ini. Dunia—yang terlihat menurut pandangan agama bergantung pada ketertiban tak
terlihat. Hubungan manusia dengan realitas yang tak terlihat, agama, mempunyai
efek pada kehidupan individual. Ia akan mengaktifkan “energi spiritual” dan
menggerakkan karya “spiritual”. Agama menggairahkan semangat hidup, meluaskan
kepribadian, memperbarui daya hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru
pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai
perasaaan tenteram dan damai. Cinta mendasari seluruh hubungan
interpersonalnya. Tanpa mengabaikan rasa takut atau rasa sedih dalam kehidupan
beragama, James lebih banyak melihat agama sebagai sumber kebahagiaan.[8]
Psikologi dewasa ini jarang
mementingkan fokus kajiannya pada aspek kebahagiaan manusia yang sesungguhnya
dan seutuhnya, kebanyakan psikologi terlalu dininabobokkan hanya oleh satu
topik, yaitu penyakit mental, dan psikologi sudah cukup bisa menanganinya. Para
psikolog secara akurat memang bisa diandalkan dalam memahami konsep-konsep yang
dahulu kabur, seperti depresi dan skizofrenia. Namun sekarang, bermunculan
gejala-gejala gangguan lain sepanjang perjalanan hidup umat manusia dan tidak
musnah kecuali menanggulanginya dengan pembersihan jiwa. Karena pada dasarnya
manusia menginginkan kehidupan yang bermakna, bukan kegelisahan dan kesembuhan
melainkan mereka lebih memandang “kehidupan yang baik”.
Oleh karena itu, dengan berbagai
alasan di atas agama pantas disandingkan dengan psikologi. Selama ini disadari
bahwa kesalahan terbesar kaum psikolog terdahulu adalah tidak melibatkan agama
dalam setiap terapinya. Rata-rata “mainstrem” psikolog dan psikiatri memusuhi
agama dan dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental.
Belakangan ini, bermunculan
analisis dari kaum psikolog untuk melirik agama sebagai hal yang paling
berharga dalam kajian psikologi. Salah satunya adalah William James sendiri
yang memandang agama sebagai jalan menuju keunggulan manusia, dan Carl Gustav
Jung yang menyatakan agama sebagai jalan menuju keutuhan. Akan tetapi, porsi
koherensi ini belum bisa diterima secara utuh oleh beberapa kalangan, mengingat
saat ini keunggulan ilmu pengetahuan masih di atas angin. Terlebih, masih sulit
merubah paradigma keilmuan seseorang yang diyakini dengan orientasi kemapanan
dibandingkan membelok keimanan seseorang.
C. Psikologi
Agama sebagai Disiplin Ilmu
Melakukan tugas pencarian ilmu
secara lebih mendalam memang menjadi tantangan bagi para ilmuan dan kaum
intelektual. Pemikiran keilmuan yang ada tidak sejatinya lahir taken for
granted, akan tetapi senantiasa dikaji, dikritisi, diverifikasi, sehingga
memunculkan temuan-temuan baru yang sekiranya lebih mencerahkan bagi peradaban
umat manusia. Dunia sains, terutama sains-sosial telah menunjukkan taringnya
dengan menghasilkan produk keilmuan yang kontributif bagi masyarakat terutama
di era post-modern.
Namun di balik itu, ada beberapa
aspek yang tidak dipahami oleh pelaku perkembangan keilmuan dewasa ini, tidak
seharusnya ilmu pengetahuan dihadapkan pada hal-hal yang berbau
mekanistik-materialistik dan terlalu asyik dalam beroperasi. Nilai-nilai
inklusifitas perlu dibangun agar tidak terjadi korupsi ilmu pengetahuan yang
berakibat fatal pada runtuhnya singgasana moralitas. Evaluasi terhadap ilmu
senantiasa ditegakkan dengan kajian-kajian yang transformatif dan bernilai.
Sebab dengan latar belakang historis yang berbeda, masyarakat beragama secara
umum sama sekali belum sepakat dengan keilmuan yang bebas nilai[9] dan
cenderung profan.
Psikologi dinilai sebagai
disiplin ilmu otonom yang menginduk pada filsafat, dituntut membangun kerangka
teoritik yang lebih holistik dengan menggandeng agama sebagai landasan kajian
keilmuan. Di samping filsafat, agama juga merupakan wilayah yang mengagungkan
aspek nilai terutama nilai-nilai ilahiah (teosentris) menuju nilai-nilai
antroposentris (dimensi insaniah). Apabila hal ini dipertemukan dan menjadi
satu bentuk disiplin keilmuan, tentunya akan memberikan sumbangan yang cukup
urgen bagi problem pembentukan jiwa manusia (perkembangan mental positif
manusia yang religius).
Disiplin keilmuan integralistik
ini memang memerlukan proses pengkajian yang terus-menerus dan harus berimbang,
tanpa mengabaikan jejak psikologi modern yang sudah terbentuk. Tugas besarnya
adalah mengupayakan masuknya kontribusi pemahaman baru yang belum dimiliki
dalam kajian psikologi konvensional. Jika pada awal-awal kemunculan perhatian
psikologi pada proses mental yang terjadi pada jiwa manusia, maka kemudian
pandangan tersebut janganlah sampai terlalu mendominasi.
Dalam berbagai perkembangan
sebelumnya, terungkap bahwa gejala jiwa manusia tidak sama pada manusia yang
berbeda usia. Gejala jiwa yang melatarbelakangi aktifitas, sikap dan tingkah
laku anak-anak berbeda dengan anak remaja, serta terdapat perbedaan antara
remaja dengan orang dewasa maupun orang yang sudah lanjut usia. Kenyataan ini
mendorong ahli psikologi untuk mengembangkan cabang-cabang ilmu psikologi yang
dapat digunakan untuk mempelajari gejala-gejala jiwa pada usia tertentu. Dari
sini timbul ilmu-ilmu cabang psikologi seperti psikologi anak, remaja, dan
orang tua.
Selajutnya dalam kajian psikologi
juga dijumpai berbagai perbedaan antara manusia yang sudah berbudaya tinggi
(berperadaban) dengan manusia yang masih hidup secara sederhana (primitif),
maka muncul psikologi primitif sebagai cabang berikutnya. Kemudian dalam
kaitannya dengan kondisi mental ternyata manusia juga berbeda, sehingga untuk
mempelajarinya diperlukan adanya psikologi khusus. Maka muncullah psikologi
abnormal dan para psikologi.
Memang agak berbeda dari proses
awal kelahirannya, agama mulai menjadi perhatian kaum psikolog di tengah
problem kejiwaan yang tidak kunjung selesai. Layaknya cabang psikologi, seperti
psikologi anak, psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, psikologi agama
dinilai sebagai ilmu terapan yang lebih komprehensif dan fungsional. Tidak
berlebihan jika Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa psikologi sekarang lebih
rendah hati untuk membuka diri pada agama.[10]
Namun apakah integrasi keilmuan
ini akan efektif? Bagaimana jika di dalamnya bermunculan penafsiran agama konstitusional
yang dikhawatirkan oleh William James? Tidakkah kemudian akan melahirkan bias
orientasi kajian dan segmentasi operasional?
Sebelumnya perlu diketahui motif
munculnya psikologi agama. Psikologi agama merupakan selebrasi kaum psikolog
yang pro terhadap adanya ‘dimensi transendental’ pengatur bumi ini. Menurut
mereka, sumber kegelisahan terbesar adalah karena sikap keegoisan manusia
dengan tidak meyakini adanya realitas paling substansial di jagat raya.
Pelbagai kerangka pemikiran yang progresif pun dibangun beraltarkan nilai-nilai
yang terkodifikasi baik secara tertulis ataupun ternetralisasi dalam benak
penganut pemeluk setiap agama.
Keberadaan teori psikologi Barat
yang dominan saat ini masih bersifat kasat mata, dan diobjektifkan lewat
eksperimen-eksperimen ilmiah yang terukur. Secara landasan akademis hampir
mutlak bisa dipertanggungjawabkan. Namun kalau kita menelisik ulang terhadap
awal kemunculannya, taruhlah Freud dan Jung yang mendapatkan berbagai gelar
ijazah kedokteran dan membuka praktek psikoterapi kebanyakan keahliannya tidak
diperoleh dari bangku akademik. Banyak di antara metode dan praktek yang
dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah yang
dimapankan oleh lingkungan akademik. Problem ini bukan menjadikan ilmu
psikologi konvensional dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam
pengembangan diskursus-diskursus yang lain.
Perumusan psikologi agama yang
dirintis di Indonesia dan berbagai belahan negara yang lain, kerangka
berpikirnya (mode of thought) haruslah bersifat inklusif. Belajar dari
kelemahan psikologi Barat yang eksklusif, rumusan gagasannya selalu mengandung
bias-bias ketika kita memakainya untuk menganalisis permasalahan dalam konteks
budaya masyarakat yang berbeda.
Kedua, apa yang diajarkan oleh
Freud dengan kegelisahan pada problem kepribadian dirinya dan masyarakat bisa
kita petik hikmahnya, yakni kita tidak perlu berpijak mutlak pada doktrin
keilmuan yang statis dalam ranah tertentu, dalam ranah yang lain masih ada
ijtihad ilmiah dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang substansial.
Tujuannya, agar konsep psikologi agama yang kian menggurita dewasa ini tidak
tergerus pada latah teoritik, akan tetapi lebih menekankan aspek aplikasinya.
Barangkali William James akan tersenyum simpul melihat gagasannya diverifikasi
kembali oleh ilmuan-ilmuan setelahnya, dengan tidak terjebak pada ranah
institusional.
D. Akar
Lokalitas Psikologi Islami dan Pesan Universal
Secara sederhana psikologi Islam
bisa dipahami sebagai kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek perilaku
kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih
sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[11]
Psikologi Islam, sebagai regulasi
dari psikologi agama memang baru memasuki proses awal. Pendekatan yang
digunakan lebih pada pendekatan yang bersifat spekulatif, membicarakan hakekat
mental dan kehidupannya sekaligus menggunakan konsep yang deduktif (Al-Quran
dan Al-Sunah). Diperkokoh dari hasil renungan pemikiran para filosof atau sufi
klasik, walaupun belum banyak menyentuh pada wilayah yang empiris.
Hal ini menjadi tugas berat bagi
psikologi Islam untuk membangun kajian yang utuh, mengingat psikologi yang
sudah lama berpisah dari filsafat lebih menekankan pada aspek empiris. Untungnya
Islam memiliki nilai-nilai universal yang bisa dijadikan modalitas utama untuk
mengembangkan kerangka konseptual yang lebih mapan dan unik dibandingkan konsep
psikologi kontemporer Barat. Secara ontologis, Islam memiliki pemahaman tentang
hakekat jiwa. Dalam wilayah epistemologis, Islam secara terperinci menyebutkan
bagaimana cara mempelajari jiwa. Dan secara aksiologis, Islam banyak menekankan
tujuan mempelajari jiwa. Ketiga modalitas ini terkandung dalam ayat-ayat
Al-Quran dan Al-Hadis, dan ditafsirkan secara filosofis oleh berbagai ilmuan
dan filosof Islam dari zaman klasik hingga sekarang.
Sedangkan munculnya embel-embel
‘islam’ dalam pelbagai diskursus keilmuan dewasa ini, termasuk psikologi
senyatanya tidak terlepas dari munculnya gagasan islamisasi ilmu. Jika ditengok
kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya di sekitar abad 8-15 masehi.
Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius oleh para ilmuwan
dan cendekiawan muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh pasukan Jenghis Khan,
saat itulah mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan umat Islam.
Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku, kemudian
dibakar dan dilarung ke sungai Tigris. Selain itu juga, persinggungan
orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan Islam tersebut ikut andil
mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan keilmuan yang gongnya
adalah terjadinya revolusi industri[12] pada
abad ke-17.
Leif Stenberg dalam bukunya The
Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing an Islamic Modernity
(1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus hubungan sains dan Islam
adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun 1883 di Paris yang
kemudian direspon pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1897). Menurut
Renan antara Islam dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat itu
kemudian perdebatan ini menjadi begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua
puluh.
Sorotan yang Stenberg lakukan
adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut sebagai eksponen dalam usaha
islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice
Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh Stenberg
dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan sains
dan Islam.
Al-Faruqi dikenal sebagai tokoh
yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge).
Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman dengan nama
International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi islamisasi
dengan langkah-langkah yang dibuatnya. Yang menarik dari gagasan Faruqi adalah
bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup komprehensif antara
khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of
modern and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu
yang dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah integralisasi keduanya.
Ini ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan ilmu dengan perspektif
Islam dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan modern yang ada. Dari
situlah kemudian akan menghasilkan model kurikulum dan pendidikan dalam
perspektif Islam. Dan inilah yang menjadi ultimate goal gagasan islamisasi
pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi pengetahuan, menurut
Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah kerja ilmiah dari sudut
pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai ideologi atau bahkan
sebuah sekte baru. Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau tidak, orang
yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat
berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang biak.[13]
Sementara ‘Imad al Din Khalil
memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan dalam pencarian
intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian (examination),
penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup, manusia dan
alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad
mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara
pencapaian ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat
filosofis, sehingga ilmu itu dapat digunakan melalui metodologi yang
bernuansakan religius tinimbang yang spekulatif.
Sementara Sardar menekankan
penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka sains atau pengetahuan Islam.
Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar
sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa sains
tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.
Secara umum, menurut Stenberg,
keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini memiliki kesamaan gagasan dalam
melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam, menurut mereka, sama
sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak teraplikasikannya
konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.
Diharapkan kajian psikologi Islam
memposisikan diri secara moderat dan orientasinya jelas, agar pesan universal
agama dapat benar-benar tersampaikan dan memberikan sumbangan nyata bagi
perkembangan keilmuan psikologi ke depan. Sikap Impartility (ketidakberpihakan)
ini, sangat dibutuhkan agar tidak ada sekat pembatas antara “psikologi” dan
“islam”.
Selain itu, berbagai kesan
terpisah dalam penetapan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi ataupun di
lembaga pembelajaran lainnya tidak terjadi. Karena keduanya bukan dua term
berbeda secara radikal dan eksternal dapat dipisahkan, melainkan menyatu atau
yang biasa disebut monograf perbandingan. Ketegangan fakta-fakta yang diperoleh
secara ilmiah dan interpretasi (tafsir) haruslah mengidealkan koherensi,
setidaknya dapat menghilangkan konflik metodologis yang belum usai. Tentunya
hal ini bisa diharapkan jika Islam bisa mengetengahkan ide-ide kreatif
berlandaskan sikap yang objektif. [14]
Relevansinya dengan ide relasi
sains dan Islam adalah bahwa tetap mengedepankan objektifitas dalam melangkah,
meskipun ada simbol agama di situ. Dan pemikiran ini menurut saya perlu menjadi
titik perhatian dalam pengembangan psikologi Islam selanjutnya. Pengembangan
pengetahuan dalam Islam tidaklah memandang bahwa pengetahuan di luar Islam
sebagai musuh yang harus dibasmi; “psikologi sebagai psikologi”, “Islam sebagai
Islam”, dan Islam untuk psikologi begitu pula sebaliknya.
E. Pemahaman
Holistik-Aplikatif
dalam Psikologi Islam
Pergulatan
dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang
sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak untuk kasus
Indonesia ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok
pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan
kemudian bersentuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping
adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu
sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut
beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman,
Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan
Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan
alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis,
namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam
(at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya,
Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki
latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap
literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran
cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn
Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam
dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam (turats Islam) dan kemudian mengkontekstualisasikan
dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari
kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN/UIN
yang memiliki kecenderungan semacam ini.
Dalam
kajian-kajian psikologi, turats Islam yang berupa manuskrip tulisan dari
cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik yang berupa konsep yang masih
potensi maupun yang manifest. Misalnya, konsep perkembangan moral dan rasio
seseorang bisa dibaca dalam karya klasik Ibn Thufail yang berjudul Hayy ibn
Yaqzhan. Atau konsep-konsep umum mengenai nafs, qalb, atau akal yang
dikemukakan oleh tokoh semacam al-Ghazali, Ibn Miskwaih, Ibnul Qoyyim al-Jauzi,
bahkan pada konsep tentang tabir mimpi yang pernah dibahas oleh Ibn Sirrin jauh
sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang analisis mimpi.
Dua
model pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun kelemahan-kelemahan
fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada pendekatan modern kemudian
melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah bukan muncul suatu ilmu,
melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok (labeling). Apabila ini
yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.
Psikologi
seharusnya berangkat dari persoalan-persoalan mendasar sebagaimana
karekteristik filsafat. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam bisa
saja memverifikasi teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia
dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar,
sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai delusi atau
ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi ilahiyah dan
bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan
bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia.
Demikian
juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi
hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari
produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan
syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti
ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima
oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik
analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi
dari teori Freud atau psikolog yang lain.
Dalam
buku The Islamization of Knowledge, Ismail Al Faruqi mengusulkan agar
mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan
khazanah ilmu pengetahuan modern. Proyek ini dilestarikan oleh sejumlah
perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, Universitas Islam Antar Bangsa
(International Islamic University) Malaysia mewajibkan setiap mahasiswa strata
satu (program sarjana), strata dua (program master), hingga strata tiga
(program doktor) untuk mengambil mata kuliah yang namanya The Islamization
of Knowledge.
Gagasan
yang sarat nilai Islam ini mendapat tanggapan yang luas dari ilmuwan Islam. Hal
ini terbukti dengan makin maraknya wacana ekonomi Islam, psikologi Islam, hukum
Islam, Ilmu Politik Islam, dan sebagainya. Namun, sebagian ilmuwan Islam tidak
menyetujui konsep Islamisasi pengetauan yang ditawarkan Al Faruqi dan
kawan-kawannya itu. Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Sains mengungkapkan
pendapat yang menunjukkan dirinya adalah salah seorang yang tidak menyetujui
gerakan Islamisasi pengetahuan model Al Faruqi. Salah satu kritik Kuntowijoyo
adalah masih menggunakan paradigma Barat. Gerakan Islamisasi ilmu masih
terjebak dalam kerangka keilmuan Barat.
Refleksi
yang ditekankan kemudian, para peserta didik dan pengelola kurikulum pada
persoalan pelbagai macam diskursus di atas, yang penting ada keberanian untuk
mewujudkan gagasan-gagasan tersebut dalam wilayah operasional agar mendapatkan
pemahaman yang holistik.[15] Ia
seharusnya masuk ke hal-hal yang paling mendasar terlebih dahulu. Sebagai contoh, saat ini
sedang tren kajian near death experience dalam kancah psikologi Barat. Padahal, dalam pengalaman keislaman fenomena yang
menyangkut sakaratul maut merupakan
fenomena yang tidak asing. Hanya saja, cara pandangnya jelas berbeda bahkan jauh
berbeda. Perbedaan itu sangat mendasar yakni menyangkut bagaimana memandang
kehidupan ini, seperti pandangan menyangkut takdir dan kehidupan pasca kematian
(dimensi eskatologis) dimana hal-hal semacam ini masih tabu dalam kajian
psikologi barat.
Oleh sebab itu, ke depan, nuansa kajian psikologi Islam
sejatinya berangkat dari landasan yang komprehensif dan mendasar baik itu
menyangkut epistemologis, aksiologis, maupun ontologis. Islam sendiri sudah
memiliki modalitas yang luar biasa, yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah
serta karya-karya ulama klasik. Patut disayangkan apabila kajian-kajian yang
dilakukan hanya pada tataran permukaaan (menggabung-gabungkan nilai-nilai Islam
dengan psikologi secara artifisial). Karena kalau tidak, psikologi Islam akan
terjebak pada simplifikasi nilai pada dua rumpun sekaligus yaitu psikologi dan
Islam serta kemudian harapan untuk menjadi disiplin keilmuan yang mapan menjadi
angan tak berkesudahan.
F. Penutup
Psikologi
Islam pada dasarnya merupakan upaya untuk mengartikulasikan interpretasi
tentang psikologi perspektif Islam. Sebab itu, sebagian kaum ilmuan muslim
merasa gelisah terhadap perkembangan psikologi yang belum banyak menyentuh pada
aspek keikutsertaan Tuhan dalam perilaku-perilaku manusia. Dan belum adanya penilaian
objektif dan adil dari kalangan ilmuan Barat, yang saat ini memegang titik
kunci peradaban ilmu sains dan sosial terhadap peran agama sebagai elemen yang
penting bagi kehidupan manusia.
Sejatinya, psikologi Islam bisa memberikan sumbangsih nyata bagi produk keilmuan psikologi modern
bahkan lebih solutif asalkan
tidak terjebak pada kajian-kajian normatif yang menjadi anteseden dalam
menentukan prospek keilmuan. Harapannya, ada pengembangan riset yang serius dan kajian ide-ide kreatif baru
yang intens dilakukan agar bisa
dijadikan tolok ukur keilmuan yang benar-benar memadai ketika dihadapkan dengan problem
masyarakat modern yang semakin kompleks.
*Oleh Nuzulul Khair. Disampaikan pada panel akbar Psikologi Ilmu Fakultas Ilmu Sosial dan HUmaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008
[1] Sigmund Freud adalah
bapak psikoterapi, tetapi ia juga tokoh ateisme terbesar pada awal abad ke-20.
Freud sangat yakin bahwa psikoanalisis merupakan alat pembasmi agama yang
paling utama, ia pun memperkokoh argumennya dengan menulis buku The Future
of an Illusion, agama hanyalah sebatas ilusi. Selanjutnya lihat Biografi
lengkap Freud di Ernest Jones, Dunia Freud: The Life and Work of Sigmund Freud,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), halaman 26.
[2] Seorang dokter
penyakit dalam yang kemudian menjadi psikolog terkenal dengan teori psikologi
individual. Pikiran dan perumusan Adler mengenai perasaan-perasaan rendah diri
(inferior) dan upaya kompensatoris untuk mendapatkan kekuasaan sebagai faktor
dasar dalam perkembangan pribadi. Sekitar tahun 1900, Adler mempelajari
simptom-simptom psikopatologi dalam kedokteran umum. Lihat di Ladislaus
Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia (Jakarta: Grasindo, 2004),
halaman 4.
[3] Hazrat Pir, “Peace” dalam Lynn
Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf: Sebuah Upaya Spiritualisasi
Psikologi, (Jakarta: Serambi, 2003), halaman 7.
[4] Steinar Kvale (ed.), Psikologi dan Posmodernisme
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), halaman 34-35.
[5] Pernyataan ini, misalnya juga
dikemukan oleh Lynn Wilcox. Menurutnya, kendati ribuan psikolog, konselor,
pekerja sosial, dan psikiater berusaha keras membantu mereka, psikologi Barat
modern belum mampu mengajarkan manusia bagaimana mewujudkan kebiasaan positif
secara mendasar dan permanen. Psikologi Barat selama ini juga belum dapat
menunjukkan bagaimana orang bisa hidup dalam kedamaian dan ketentraman.
Walaupun Abraham Maslow, yang mendekati ideal—diri yang teraktualisasi, manusia
yang berperan sepenuhnya. Namun, para psikolog juga belum dapat menunjukkan
cara yang memungkinkan orang mencapai atau berperan pada tingkat-tingkat ini
atau pada tataran yang lebih tinggi. Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa…,
halaman 8.
[6] Behaviorisme
merupakan aliran dalam psikologi yang memandang bahwa ketika dilahirkan pada
dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia mutlak akan berkembang
berdasarkan stimulasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya. Beberapa tokoh
aliran ini di antaranya, Ivan Pavlov, B. F. Skinner, dan John B. Watson. Lihat
Calvin S. Hall dan Cardner Lindzey, Theories of Personality, dialihbahasakan
olehYustinus (Yogyakarta: Kanisius, 1993), halaman 9.
[7] William
James, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature,
dialih bahasakan oleh Gunawan Admiranto (Bandung: Mizan, 2004) halaman 42.
[8] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Agama (Bandung: Mizan, 2003), halaman 208.
[9] Paham
“bebas nilai” (value free) dijunjung tinggi oleh para ilmuan ketika
usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai objektifitas maksimal. Bagi mereka
paham “bebas nilai” ini diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak mempunyai
bias dan unsur tidak memihak. Namun demikian, paham “bebas nilai” tersebut
banyak disangkal oleh beberapa keilmuan kontemporer, termasuk di dalamnya para
pemikir muslim. Kelompok kedua ini mulai menemukan momentumnya ketika
objektifitas ilmiah mulai disangkal, karena upaya ilmiah seringkali dilakukan
dalam kerangka tujuan tertentu. Di Indonesia, pemikiran yang cukup kritis
muncul dalam karya F. Budi Hardiman, Kritis Ideologi, Kanisius,
Yogyakarta, 1996
[10] Asumsi
ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Koenig (1999) dalam bukunya The
Healing Power of Faith, bahwa keluarga yang religius pada umumnya (1) punya
keluarga yang lebih bahagia, (2) punya gaya hidup yang lebih sehat, (3) dapat
mengatasi stres, (4) hidup lebih lama dan lebih sehat, (5) terlindung dari
penyakit kardiovaskular, (6) punya sistem imun yang lebih kuat, dan (7) lebih
sedikit menggunakan jasa rumah sakit. Jika agama terbukti menyehatkan secara
fisik dan mental, psikoterapis yang selama ini mengabaikan agama akan
kehilangan sumber dayanya yang paling utama. Lihat di Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Agama…, halaman 199.
[11] Dirangkum
dari pemikiran Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, dalam pengantar buku
Psikologi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan VI Desember 2005),
halaman v.
[12] Revolusi
industri bukanlah suatu proses yang terjadi secara mendadak. Melainkan melalui
proses sejarah yang terjadi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan; perubahan yang
cepat dibidang ekonomi yaitu dari kegiatan ekonomi agraris ke ekonomi industri
yang menggunakan mesin dalam mengelola bahan mentah menjadi bahan siap pakai.
Revolusi telah mengubah cara kerja manusia dari penggunaan tangan menjadi
penggunaan mesin. Revolusi industri juga ditandai dengan akibat-akibat yang
revolusioner dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Salah satu
penemuannya yang pertama kali adalah mesin uap oleh James Watt (dipatenkan
tahun 1796. Gunawan, “Revolusi Industri” dalam www. E-dukasi.net, diakses
tanggal 4 Mei 2008.
[13] Huzni
Thoyyar, “Model-model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan
Islam”, dalam www.yusdani.com,
diakses tanggal 4 Mei 2008.
[14] Kuntowijoyo,
misalnya. Beliau menggunakan istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah ini
digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat perkembangan politik aliran di
Indonesia. Menurutnya objektifikasi adalah memandang sesuatu secara objektif
dan disebutnya sebagai jalan tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran
pemikiran keilmuan lainnya. Ada tiga hal yang digunakannya dalam melihat
objektifikasi Islam ini yaitu (1) artikulasi pemahaman hendaknya melalui
kategori-kategori objektif, (2) pengakuan penuh kepada keberadaan segala
sesuatu yang objektif, dan (3) tidak berpikir kawan-lawan, melainkan pada
permasalahan bersama. Hal ini lebih lanjut bisa dilihat dibukunya Pak Kunto, Islam
sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005). Buku ini memberikan
inspirasi pada kajian Islam Kontekstual.
[15]Secara substansial
pemahaman holistik menekankan pada nilai-nilai kreatif dan kompetitif tidak
hanya sebatas pengertian integral. Kedua dilanjutkan dengan perluasan khowledge
base baik pada tingkatan individu ataupun kelompok. Hal ini berarti adanya
budaya yang menghargai dan mendukung kreatifitas dan di sisi lain perhatian
pada pengembangan sarana operasional. Rachmadi Bagus Triono, “manajemen SDM
Holistik: Jalan Menuju Perolehan Competitive Adventage”, dalam www.lmfeui.com, diakses tanggal 15 April 2009
Daftar Rujukan
A
Partanto, Pius dan Al-Barry, Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Arkola: Surabaya,
1994
Ancok,
Djamaluddin dan Suroso, Fuad Nashori. Psikologi Islami: Solusi Islam atas
Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kelima. 2004.
Ep.
Seligman, Martin. Anthentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi
Positif. Mizan: Bandung, 2005
Jalaluddin.
Psikologi Agama. Rajawali Press: Cetakan keenam. 2002
James,
William. The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Edisi
Indonesia. Mizan: Bandung, 2004.
Kuntowijoyo.
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung, 1991
Kuntowijoyo.
Islam sebagai Ilmu. TiaraWacana: Yogyakarta, 2006
Kvale,
steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006
Mutthari,
Murtadha. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Mizan: Bandung, 1992
Naisaban,
Ladislaus. Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan
Karya. Grasindo: Jakarta, 2004
Najati,
M. Utsman. Alquran dan Ilmu Jiwa. Pustaka: Bandung, 1985
Nasution,
Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. UI: Jakarta, 1982
Rakhmat,
Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Mizan: Bandung, 2003
Sardar,
Ziauddin. Masa Depan Islam. Pustaka Salman: Bandung, 1986
S.Hall,
Calvin dan Lindzey, Gardner. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Kanisius:
Yogyakarta, 1993
S.Hall, Calvin dan Lindzey, Gardner.
Teori-teori Sifat dan Psikodinamik. Kanisius: Yogyakarta, 1993
Wilcox, Lynn. Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf. Serambi: Jakarta, 1997
Wilcox, Lynn. Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf. Serambi: Jakarta, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar