National Institute on Drug Abuse (NIDA) menjelaskan bahwa
penyalahgunaan narkoba dapat membidani lahirnya masalah pada kesehatan,
permasalahan sosial, kekerasan,
kematian, pembunuhan, bunuh diri, serta ketergantungan fisik dan psikologis.
Bagi negara yang gagal mengendalikan peredaran dan penyalahgunaan narkoba,
imbasnya bukan sekadar dirasakan oleh para korban penyalahguna seperti rusaknya
mental, melainkan juga rusaknya sistem sosial di lingkungan masyarakat, atau
bahkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Kerugian
negara karena dampak sosial dan krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh kasus
narkoba menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2011 berkisar
42,8 triliun. Belakangan ini, bukan tidak mungkin mengalami peningkatan seiring
dengan masih rendahnya daya imun masyarakat terhadap peredaran narkoba.
Bagaimana tidak, seseorang yang sudah bertitel guru besar di sebuah lembaga
perguruan tinggi bisa tergiur dengan barang haram yang memiliki efek candu
tersebut.
Oleh
sebab itu, pertemuan tingkat Menteri Bidang Narkoba se-ASEAN yang digelar di
Jakarta 3 Desember 2014 lalu, memiliki arti dan peran yang sangat urgen.
Pertemuan tersebut menitikberatkan pentingnya konsolidasi negara-negara ASEAN
ihwal pemberantasan narkoba. Konsolidasi yang dimaksud adalah terjalinnya kerja
sama segenap elemen dalam mengatasi penyelundupan narkoba melintasi perbatasan,
komitmen penegakan hukum, pendidikan dan program kesadaran masyarakat,
serta terwujudnya ASEAN bebas narkoba
tahun 2015.
Relevansinya
dengan persoalan narkoba di Indonesia, komitmen bersama antar elemen dalam
memerangi narkoba merupakan iktikad yang tak bisa ditunda-tunda. Sebab, menurut
catatan BNN pada tahun 2013 angka pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4 juta
jiwa. Secara psikologis fakta ini begitu miris, karena menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), jika terdata satu kasus berarti ada kasus lain yang
belum terdeteksi di sekitarnya. Laiknya fenomena gunung es, kasus narkoba
tampak kecil di permukaan sedangkan bagian terluas di bawahnya tidak kelihatan.
Sesungguhnya,
sudah banyak terungkap kasus-kasus narkoba di pelbagai daerah di tanah air.
Namun, hal itu belum menjamin peredaran narkoba berkurang. Sebaliknya, trend penyelundupan narkoba semakin
variatif dan pengguna narkoba terus bertambah. Sebab, problem yang lebih fundamental
belum teratasi, yaitu masih lemahnya aparat penegak hukum dalam menjeruji
besikan gembong-gembong besar narkoba. Selain itu, orientasi penegakan hukum
saat ini lebih terkonsentrasi pada “kriminalisasi korban” bukan pada meringkus
otak pengedar.
Supremasi Hukum dan Upaya Preventif
Tidak
jauh berbeda dengan perilaku korupsi, mengedarkan narkoba secara yuridis
merupakan bentuk extra ordinary crime.
Karena, narkoba dapat menimbulkan efek bola saju terhadap munculnya pelbagai
aksi kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan bahaya laten
lain yang membahayakan hajat hidup orang banyak. Berpijak dari hal itu, perang
terhadap narkoba perlu menggunakan “senjata” yang kuat yakni menggunakan
kekuatan hukum yang ekstra pula untuk menjerat para pelaku.
Upaya
ekstra pemerintah dalam menindak para pengedar bisa berwujud hukuman yang
menimbulkan efek jera. Selain itu, perlu adanya kebijakan peniadaan grasi bagi
tahanan pengedar narkoba. Pemberian grasi hanya akan menimbulkan kesan “lembek”
negara bagi penanganan kasus narkoba. Bagaimanapun, maraknya kasus
kriminal—utamanya narkoba—tak terlepas dari persepsi oknum pelaku terhadap
hukum. Kurt Lewin (1935) tokoh Psikologi Sosial menyatakan, persepsi seseorang
terhadap lingkungan (hukum) akan memengaruhi bagaimana mereka berperilaku.
Sejauh
ini, supremasi hukum yang terjadi di Indonesia menyangkut kasus narkoba belum
menghadirkan persepsi buruk bagi para pengedar. Kondisi ini terlihat dari
banyaknya tahanan yang dengan mudah mengendalikan transaksi narkoba dari dalam
Lembaga Pemasyarakatan (LP). Ditambah lagi, ditemukannya satu atau dua kasus
keterlibatan oknum aparat dalam kasus narkoba menambah reputasi buruk penegakan
hukum. Hal ini bisa menimbulkan moral
exclusion bagi masyarakat, sebuah justifikasi seperti “aparat juga
terlibat, mengapa saya tidak?”
Maka,
semangat melawan narkoba seperti yang dilakukan pemerintah China dengan memberlakukan hukuman mati bagi kurir
dan pengedar narkoba perlu segera diterapkan di Indonesia. Sekalipun masih
ditemukan pelbagai pertentangan terkait pemberlakuan hukuman mati di sejumlah
negara, hal tersebut bukan alasan yang substansial untuk tidak menegakkan upaya
hukum yang tegas dan tak kenal kompromi. Dengan kata lain, jangan sampai hukum
sebagai palang pintu utama melawan narkoba “tersandera” dengan meninggalkan
jejak penyelesaian yang tak tuntas.
Selain
itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya preventif yang menyentuh pada level pribadi
dan membumi. Pemberian informasi seperti kampanye melawan narkoba memang cepat
diterima secara luas, tapi hal ini belum efektif bagi tertanamnya pemahaman
masyarakat tentang narkoba dan bahayanya. Dalam konteks pencegahan ini, yang
perlu ditekankan yaitu pembahasan topik seputar narkoba secara lebih intens dan
pribadi terutama bagi kalangan remaja, baik di lingkungan sekolah maupun
keluarga.
Hal
tersebut penting supaya dunia narkoba tidak terlalu berjarak dan bisa
mengurangi rasa penasaran masyarakat terhadap narkoba. Karena, salah satu hal
yang menstimulasi seseorang sehingga memutuskan mengkonsumsi narkoba adalah
besarnya rasa penasaran. Dengan begitu, upaya preventif semacam ini akan
sedikit meringankan beban hukum terhadap pemberantasan narkoba yang kian
menggurita. Dan, semoga harapan negeri bebas narkoba pun bisa menjadi kenyataan
yang hakiki. Kata aktor Robbin Williams, kenyataan hanya menjadi penopang bagi
orang yang tidak bisa menangani obat terlarang.
Oleh: Nuzulul Khair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar