Pages

Rabu, 11 Maret 2015

Menatap Tahun Bebas Narkoba



National Institute on Drug Abuse (NIDA) menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba dapat membidani lahirnya masalah pada kesehatan, permasalahan sosial,   kekerasan, kematian, pembunuhan, bunuh diri, serta ketergantungan fisik dan psikologis. Bagi negara yang gagal mengendalikan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, imbasnya bukan sekadar dirasakan oleh para korban penyalahguna seperti rusaknya mental, melainkan juga rusaknya sistem sosial di lingkungan masyarakat, atau bahkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Kerugian negara karena dampak sosial dan krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh kasus narkoba menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2011 berkisar 42,8 triliun. Belakangan ini, bukan tidak mungkin mengalami peningkatan seiring dengan masih rendahnya daya imun masyarakat terhadap peredaran narkoba. Bagaimana tidak, seseorang yang sudah bertitel guru besar di sebuah lembaga perguruan tinggi bisa tergiur dengan barang haram yang memiliki efek candu tersebut.

Oleh sebab itu, pertemuan tingkat Menteri Bidang Narkoba se-ASEAN yang digelar di Jakarta 3 Desember 2014 lalu, memiliki arti dan peran yang sangat urgen. Pertemuan tersebut menitikberatkan pentingnya konsolidasi negara-negara ASEAN ihwal pemberantasan narkoba. Konsolidasi yang dimaksud adalah terjalinnya kerja sama segenap elemen dalam mengatasi penyelundupan narkoba melintasi perbatasan, komitmen penegakan hukum, pendidikan dan program kesadaran masyarakat, serta  terwujudnya ASEAN bebas narkoba tahun 2015.

Relevansinya dengan persoalan narkoba di Indonesia, komitmen bersama antar elemen dalam memerangi narkoba merupakan iktikad yang tak bisa ditunda-tunda. Sebab, menurut catatan BNN pada tahun 2013 angka pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4 juta jiwa. Secara psikologis fakta ini begitu miris, karena menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jika terdata satu kasus berarti ada kasus lain yang belum terdeteksi di sekitarnya. Laiknya fenomena gunung es, kasus narkoba tampak kecil di permukaan sedangkan bagian terluas di bawahnya tidak kelihatan.

Sesungguhnya, sudah banyak terungkap kasus-kasus narkoba di pelbagai daerah di tanah air. Namun, hal itu belum menjamin peredaran narkoba berkurang. Sebaliknya, trend penyelundupan narkoba semakin variatif dan pengguna narkoba terus bertambah. Sebab, problem yang lebih fundamental belum teratasi, yaitu masih lemahnya aparat penegak hukum dalam menjeruji besikan gembong-gembong besar narkoba. Selain itu, orientasi penegakan hukum saat ini lebih terkonsentrasi pada “kriminalisasi korban” bukan pada meringkus otak pengedar.

Supremasi Hukum dan Upaya Preventif

Tidak jauh berbeda dengan perilaku korupsi, mengedarkan narkoba secara yuridis merupakan bentuk extra ordinary crime. Karena, narkoba dapat menimbulkan efek bola saju terhadap munculnya pelbagai aksi kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan bahaya laten lain yang membahayakan hajat hidup orang banyak. Berpijak dari hal itu, perang terhadap narkoba perlu menggunakan “senjata” yang kuat yakni menggunakan kekuatan hukum yang ekstra pula untuk menjerat para pelaku. 

Upaya ekstra pemerintah dalam menindak para pengedar bisa berwujud hukuman yang menimbulkan efek jera. Selain itu, perlu adanya kebijakan peniadaan grasi bagi tahanan pengedar narkoba. Pemberian grasi hanya akan menimbulkan kesan “lembek” negara bagi penanganan kasus narkoba. Bagaimanapun, maraknya kasus kriminal—utamanya narkoba—tak terlepas dari persepsi oknum pelaku terhadap hukum. Kurt Lewin (1935) tokoh Psikologi Sosial menyatakan, persepsi seseorang terhadap lingkungan (hukum) akan memengaruhi bagaimana mereka berperilaku.

Sejauh ini, supremasi hukum yang terjadi di Indonesia menyangkut kasus narkoba belum menghadirkan persepsi buruk bagi para pengedar. Kondisi ini terlihat dari banyaknya tahanan yang dengan mudah mengendalikan transaksi narkoba dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). Ditambah lagi, ditemukannya satu atau dua kasus keterlibatan oknum aparat dalam kasus narkoba menambah reputasi buruk penegakan hukum. Hal ini bisa menimbulkan moral exclusion bagi masyarakat, sebuah justifikasi seperti “aparat juga terlibat, mengapa saya tidak?”

Maka, semangat melawan narkoba seperti yang dilakukan pemerintah China  dengan memberlakukan hukuman mati bagi kurir dan pengedar narkoba perlu segera diterapkan di Indonesia. Sekalipun masih ditemukan pelbagai pertentangan terkait pemberlakuan hukuman mati di sejumlah negara, hal tersebut bukan alasan yang substansial untuk tidak menegakkan upaya hukum yang tegas dan tak kenal kompromi. Dengan kata lain, jangan sampai hukum sebagai palang pintu utama melawan narkoba “tersandera” dengan meninggalkan jejak penyelesaian yang tak tuntas.

Selain itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya preventif yang menyentuh pada level pribadi dan membumi. Pemberian informasi seperti kampanye melawan narkoba memang cepat diterima secara luas, tapi hal ini belum efektif bagi tertanamnya pemahaman masyarakat tentang narkoba dan bahayanya. Dalam konteks pencegahan ini, yang perlu ditekankan yaitu pembahasan topik seputar narkoba secara lebih intens dan pribadi terutama bagi kalangan remaja, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.

Hal tersebut penting supaya dunia narkoba tidak terlalu berjarak dan bisa mengurangi rasa penasaran masyarakat terhadap narkoba. Karena, salah satu hal yang menstimulasi seseorang sehingga memutuskan mengkonsumsi narkoba adalah besarnya rasa penasaran. Dengan begitu, upaya preventif semacam ini akan sedikit meringankan beban hukum terhadap pemberantasan narkoba yang kian menggurita. Dan, semoga harapan negeri bebas narkoba pun bisa menjadi kenyataan yang hakiki. Kata aktor Robbin Williams, kenyataan hanya menjadi penopang bagi orang yang tidak bisa menangani obat terlarang.

Oleh: Nuzulul Khair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar